Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PROYEKSI PEREKONOMIAN: Balada Inkonsistensi Kebijakan

Ajang Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional yang digelar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada awal Mei lalu telah mengirimkan sinyal bahwa kebijakan pengetatan fiskal yang diterapkan pemerintah sejak tahun lalu akan tetap dikondisikan untuk dilanjut-kan pemerintah baru tahun depan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka Musrenbangnas. /bisnis.com
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka Musrenbangnas. /bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Ajang Mu syawarah Rencana  Pembangunan Nasional yang digelar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada awal Mei lalu telah mengirimkan sinyal bahwa kebijakan pengetatan fiskal yang diterapkan pemerintah sejak tahun lalu akan tetap dikondisikan untuk dilanjut-kan pemerintah baru tahun depan.

Dalam forum tersebut, Menteri Ke -uangan Muhammad Chatib Basri meng-ungkapkan pagu indikatif belanja peme-rintah pusat 2015 akan lebih rendah dari pagu belanja APBN 2014. Bersamaan dengan itu, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi 2015 pada ren-tang konservatif 5,5%-6,3%.

Sinyal yang muncul dari salah satu agenda rutin siklus pembahasan anggaran tersebut lalu dikonfirmasi kembali sekaligus diperkuat oleh dokumen  Kerangka Ekonomi Makro & Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2015 yang diserahkan pemerintah ke DPR pekan ini, Selasa (20/5).

Dokumen itu mengoreksi kembali target pertumbuhan ekonomi 2014 dari semula 6% menjadi 5,5% dan target 2015 dari asumsi awal 6,4%–7,2% menjadi 5,5%–6%. Sejalan dengan itu, asumsi nilai tukar rupiah per dolar AS juga dibuat lebih realistis menjadi Rp11.700 tahun ini dan Rp11.500–Rp12.000 tahun depan.

Itu berarti, tak berbeda jauh dengan situasi ekonomi 2 tahun ini, pemerintah mengarahkan pemerintahan baru kelak agar kembali menekan laju permintaan guna mengerem laju impor yang berisiko memperlebar defisit perdagangan, sekaligus untuk menyeimbangkan nera-ca modal dan transaksi berjalan.

Tentu kebijakan pengetatan demi stabilitas di atas pertumbuhan itu didasarkan berbagai pertimbangan. Di samping beberapa faktor risiko domes-tik, dua risiko eksternal tahun ini, yaitu perlambatan ekonomi China dan pengetatan moneter Amerika Serikat, praktis masih akan mengancam sampai beberapa tahun lagi Hampir seluruh prediksi ter-kini yang dirilis berbagai lemba-ga internasional mengonfirmasi  bertahannya dua risiko tersebut.

Itulah sebabnya kenapa dalam berbagai laporan terbarunya, baik IMF, World Bank, ADB, maupun OECD, mengoreksi kembali proyeksi pertumbuhan ekonomi globalnya tahun depan. Di sisi lain, hasil reformasi struktural yang diharapkan dapat mendorong laju penawaran, praktis belum bisa diharapkan.

Seperti juga saya, Anda mungkin juga sudah bosan mendengar berbagai problem khas Indonesia yang tak kunjung selesai, apa-kah itu kepastian hukum, ekonomi biaya tinggi, dan seterusnya.

Dengan desain pengetatan fis-kal itu, rasanya hampir mustahil jika kemudian dari jurusan lain, otoritas moneter memilih arah kebijakan yang berlawanan.  Atas dasar pertimbangan belum kuatnya daya dukung stabilitas pertumbuhan terutama, pilihan memperketat kebijakan moneter jelas lebih pas dan rasional.

Sampai di sini kita tahu, kenapa Bank Indonesia, yang juga belum selesai dalam urusan memperdalam pasar keuangan nasional, secara afirmatif masih menetapkan tahun 2015 sebagai tahun ‘konsolidasi demi stabili-sasi’, dengan target pertumbuh-an 5,8%-6,2% dari perkiraan tahun ini 5,1%-5,5%.

Singkatnya, dari sisi fiskal dan moneter, secara  by design  pemerintahan baru kelak masih harus melihat laju perekonomian yang melembam di bawah 6% dengan risiko naiknya pengangguran dan kemiskinan. Lalu apakah dalam situasi itu Jokowi atau Prabowo misalnya, tahun depan tega menaikkan harga BBM?

KEPENTINGAN POLITIK

Masalahnya, tega atau tidak tega seringkali adalah juga kepentingan politik. Dan itulah yang menjelaskan kenapa peme-rintah sekarang menyerahkan keputusan penaikan harga BBM kepada pemerintah baru. Dan itu pula yang akan menjelaskan jika Jokowi atau Prabowo mengulur penaikan harga BBM hingga 2016.

Seperti dusta, inkonsis-tensi acap datang dari sekaligus melahirkan inkonsistensi yang lain. Di sudut sana kita melihat, alih-alih menaikkan harga atau memberesi pembatasan konsum-si, pemerintah malah menambah subsidi BBM di APBNP 2014, melawan arus pengetatan dan mengambil risiko penaikan utang akibat melebarnya defisit.

Beberapa bulan sebelumnya, kita juga melihat di sudut lain, bagaimana pajak penjualan barang mewah (PPnBM) pendi-ngin ruangan (AC) ≤ 1 PK dan kulkas berkapasitas  ≤ 180 liter dibebaskan, meski pada saat yang sama laju pertumbuhan impor sedang gencar-gencarnya ditekan.

“AC ½ PK  kan  sudah biasa-biasa saja,” kata Menkeu Chatib soal pembebasan PPnBM itu.

“Pembebasan PPnBM [untuk AC ukuran  ≤ 1 PK dan kulkas kapasitas ≤ 180 liter] itu ber-arti dua, membantu daya beli warga sekaligus mengendalikan impor,” timpal Wakil Menkeu Bambang P. Brodjonegoro.

Barangkali yang terlintas di benak Chatib adalah rumah-rumah necis di kawasan Menteng yang berpagar tinggi—bukan rumah-rumah kampung di kecamatan-kecamatan kecil pesisir utara Jawa atau di Tebing Tinggi, yang panasnya  na’uzu-billah tetapi yang punya AC pun bisa dihitung jari, apalagi listrik sering mati.

Mungkin juga Bambang lupa, sekitar 50% komponen produk elektronik termasuk AC ≤ 1 PK dan kulkas ≤ 180 liter didatang-kan dari luar negeri—dan mem-bebaskan PPnBM-nya berarti mendorong masyarakat membeli sekaligus mengipas-ngipasi pabrikan guna mengimpor lebih banyak komponennya.

Namun, bukan itu duduk perkaranya. Pokok persoal-annya adalah ada berbagai inkonsistensi dalam praktik kebijakan pengetatan ini, yang bahkan entah bagaimana cara-nya, justru masuk ke dalam paket kebijakan ekonomi yang ditujukan atas nama pengetatan untuk melawan laju impor dan konsumsi. Itu baru soal AC dan kulkas.

Di ujung sana masih ada debat kusir yang tak berkesudahan antara satu kementerian dan kementerian lain selama hampir 2 tahun, tentang perlu tidak-nya mengenakan PPnBM pada smartphone—produk yang porsi impornya paling tinggi dari total impor nonmigas nasional.

Kita juga melihat jika atas nama pengetatan ini, pemerintah menahan kenaikan belanja modal terutama infrastruktur, tapi pada saat yang sama menghadiahkan pembebasan PPnBM pada para produsen ‘mobil murah’ yang semuanya dikuasai asing, serta untuk menikmati subsidi BBM sekaligus menam-bah labanya.

Sangat jelas kita saksikan bagaimana jika atas nama pengetatan itu pula, puluhan juta petani di berbagai penjuru Tanah Air mer asakan tingkat kesejahteraan yang terendah sejak 18 tahun terakhir, tetapi pada saat yang sama 4 jutaan PNS di pusat ramai-ramai  nyengir menikmati ‘durian runtuh’ remunerasi.

Sampai di sini rasanya kita tahu kenapa para pejabat Kemenkeu tiba-tiba terserang amnesia kalau ditanya soal bonus senilai Rp38  triliun itu.

Kita juga mafhum kenapa para pegawai humas Kemenkeu tidak meng-upload  SK Menkeu soal  besaran remunerasi Kemenkeu di lamannya,  www.depkeu.go.id.

Lalu apa risiko terbesar dari berbagai praktik inkonsis-tensi ini? Sinyal yang dikirimkan Musrenbangnas dan Kerangka Ekonomi Makro & Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2015 rasanya  tak sulit dipahami: Waktu yang kita butuhkan untuk pulih dan bisa kembali melonggarkan ber-bagai pengetatan ini akan lebih lama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Bastanul Siregar
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Rabu (21/5/2014)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper