Bisnis.com, JAKARTA--Bank Indonesia mulai mengkhawatirkan utang luar negeri swasta yang cenderung meningkat akhir-akhir ini. Pasalnya, sebagian utang itu tidak dilindung nilai.
Dalam rapat dewan gubernur (RDG) Bank Indonesia, Selasa (8/4/4014), bank sentral menaruh perhatian khusus pada pengelolaan utang luar negeri swasta.
Bank Indonesia mencatat utang luar negeri swasta Januari 2014 mencapai US$141,4 miliar, naik 12,2% dari periode sama tahun lalu. Angka itu di atas utang luar negeri pemerintah yang hanya US$127,9 miliar, tumbuh 1,9% (yoy).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan kondisi itu menjadi perhatian BI meskipun sebagian besar utang luar negeri swasta dalam bentuk utang jangka panjang, yakni 71,7% dari total utang swasta.
“Kami tetap concern ke hal itu karena sebagian masih belum di-hedge, terutama pada perusahaan yang penghasilannya dalam rupiah. Selain itu, pada kuartal sebelumnya DSR (debt to service ratio) kita meningkat,” katanya.
Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo sebelumnya menyatakan utang luar negeri swasta yang belum dilindung nilai sekitar 15%.
Pada saat yang sama, rasio pembayaran utang luar negeri terhadap penerimaan transaksi berjalan terbang ke level 52,7% pada kuartal IV/2013. BI sempat menyebutkan DSR perlu diwaspadai ketika berada di level 44%.
Tren peningkatan DSR hingga menembus 20% mulai terjadi pada 2009. Sebelumnya, rasio itu selalu berada di bawah 20%.
Dalam perhitungan bank sentral, DSR kuartal IV/2013 sebesar 52,7% terdiri atas DSR pemerintah 4,1%, sedangkan 48,6% berasal dari pembayaran utang luar negeri swasta US$27,9 miliar.
Dari DSR swasta itu, 19,9% di antaranya disumbang oleh pembayaran fasilitas utang luar negeri pada periode tersebut alias sudah lunas. Utang luar negeri berjangka sangat pendek ini pun sebagian besar berasal dari induk/afiliasi perusahaan bersangkutan berupa utang dagang 65% dan pinjaman 26%.
Namun, Tirta mengingatkan pertumbuhan utang yang terlalu cepat akan rentan ketika sektor eksternal yang tercermin dalam kinerja ekspor belum cukup kuat.
“Kalau sumber-sumber pembayaran utang belum kuat, ketika sampai di titik tertentu ternyata permintaan dan penawaran tidak ketemu, maka bisa terjadi gejolak nilai tukar,” katanya.