Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Kehutanan telah menangkap 109 orang tersangka terkait pembakaran hutan di Riau.
Dari 109 jumlah tersebut, sebanyak 18 orang sudah masuk tahap penuntutan pengadilan.
Sunarno, Kasubdit Pengendalian Kebakaran Hutan Kementerian Kehutanan mengatakan, pihaknya masih terus melakukan pencarian dan pengawalan terhadap kasus ini. Menurutnya, ada beberapa tersangka yang masuk kategori korporasi.
“Namun, saya tidak tahu berapa banyak yang ikut korporasi, dan apa nama perusahaannya. Itu bidang hukum, saya cuma menangani kebakarannya,” katanya di Media Centre LIPI, Kamis (3/4/2014).
Dia menambahkan kebakaran hutan merupakan salah satu persoalan era globalisasi yang perlu diperhatikan. Masalahnya, persoalan ini terus mengalami peningkatan saat musim kemarau.
“Sampai saat ini, lokasi kebakaran di Riau yang sudah bisa dipadamkan mencapai 2.942 hektar. Kami memprediksi luas wilayah yang sudah dipadamkan masih bisa bertambah,” ujarnya.
Terkait kendala pemadaman, dirinya mengatakan belum ada kendala berarti. Hanya masalah melacak titik api dan juga siapa pelakunya. Namun, jika kasusnya besar, pihaknya mengaku memang butuh bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
“BNPB kan lebih besar dari segi dana dan peralatan. Kalau sudah kasus nasional, ya kami dibantu mereka,” bebernya.
Yohanes Purwanto, Direktur Komite Nasional Program Man and The Biosphere (MAB-UNESCO) Indonesia mengatakan, kebakaran tersebut juga terjadi di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil, Bukit Batu, Riau.
“Yang menjadi masalah, juga terkait adanya pembalakan liar sebelum pembakaran. Padahal ini kawasan cagar,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Dia menjelaskan, kawasan tersebut rentan terhadap pembalakan dan perambahan karena beberapa hal. Pertama, kawasan hutan gambut tersebut masih sangat kurang penjagaannya, sehingga oknum masyarakat leluasa melakukan kegiatan illegal.
Kedua, adanya kawasan open access, yaitu kawasan yang belum ditetapkan pengelolanya. Menurutnya, kawasan ini menjadi ajang ‘bancakan’ illegal logger dan perambah.
Ketiga, pemerintah belum menentukan pengelola kawasan open access yang ditinggalkan perusahaan sebelumya. Selain itu, juga belum memberikan rekomendasi terhadap permohonan pengelolaan kawasan tersebut untuk restorasi ekosistem.
Lebih lanjut, masih ada permasalahan lain terkait penegakan hukum, upaya sistematis untuk merambah kawasan, kurangnya kegiatan sosialisasi, kurangnya koordinasi, dan juga minimnya komitmen dari para pihak kunci.
“Upaya sistematis sangat terlihat, barak para perambah yang sempat dihancurkan dan disegel polisi, kini mulai dibangun lagi. Benar-benar keterlaluan,” tukasnya.