Bisnis.com, JAKARTA - Matahari sudah hampir sampai di puncak teriknya ketika Misnaji mulai bersemangat untuk melanjutkan perjalanan dari Kota Semarang, Jawa Tengah, menuju lokasi bongkar di Pandaan, Surabaya, Jawa Timur. Tangannya yang dipenuhi bulu cekatan memindah-mindahkan presneling, dan kedua kakinya silih berganti menginjak rem, gas dan kopling.
Dodik berdiri di depan gerbang pool mengatur lalu lintas, mencoba memberhentikan kendaraan agar kepala truk bertonase 10 ton ini dapat masuk di jalur utama Pantura tepatnya di Jalan Randu Garut, Semarang. Dari kejauhan terdengar teriakan Nur Achmad atau Pak Kribo sang penanggung jawab operasional sopir dan truk Lookman Djaja di wilayah Semarang, “hati-hati,” kata Pak Kribo yang dijawab Misnaji dengan lirikan dari kaca spion dan klakson.
Ketika kepala dan pantat truk sudah berbaris dengan kendaraan lainnya, Dodik melompat naik ke dalam kabin truk. “Sudah macet aja di sini. Padahal baru keluar,” keluh Dodik sambil mengelus keningnya.
“Tapi Semarang ke Surabaya lebih enak jalannya dibanding Jakarta ke Semarang, Dod,” Misnaji menenangkan Dodik. Saya sendiri sedang repot membongkar tas mencari bolpoint dan buku catatan.
Misnaji dan Dodik merupakan pasangan penelusur Pantura yang bisa dibilang masih seumur jagung. Meski sudah sejak akhir dekade 1990-an menjadi sopir di berbagai daerah, namun baru dua bulan belakangan ini Misnaji mengenderai truk tronton jalur Pantura sepanjang Pulau Jawa.
Misnaji memiliki perawakan badan yang cukup besar dan berotot. Kulitnya hitam, rambutnya cepak ikal hitam dan tebal. Wajahnya tampak serius. Misnaji mengenakan celana pendek berwarna biru muda yang diselaraskan kaos yang juga berwana biru. Kakinya yang penuh bulu beralaskan sandal japit hijau.
Tampilan pria kelahiran 1975 ini seolah mempertegas bahwa perjalanan Pantura adalah perjalan santai, namun dibutuhkan mata dan pikiran yang tetap fokus, dengan tangan dan kaki yang cekatan mengarahkan stir dan mengatur kecepatan truk, selain itu juga dibutuhkan kesabaran sebab jalan yang rusak akan membuat hati merasa dongkol.
Dodik yang merupakan keponakan Misnaji tidak jauh berbeda dengan saya. Perjalanan dari Semarang menuju Surabaya kali ini adalah perjalan pertamanya. Sebelumnya ia bertani di kampung halamannya, Jember, Jawa Timur.
Perawakannya tinggi, berambut gaya anak muda dengan berambut spiky dengan sedikit jerawat di wajahnya. Kali itu, ia mengenakan kaos berwarna biru tua dengan celana jeans yang juga berwarna biru.
Suhu di dalam kabin truk cukup panas, mungkin 30-35 derajat celcius. Hampir sama dengan kondisi truk sebelumnya, di belakang kursi kemudi ada lapak sepanjang 1 meter beralaskan kasur busa tipis dan berspreikan sarung kucel. Di dinding kabin belakang, melintang tali jemuran untuk menggantung handuk atau pakaian Misnaji dan Dodik. Di pojok kedua sisinya terdapat bantal dan tas berukuran kecil. Kondisi di dalam truk jarak jauh memang seperti kamar berjalan.
Truk yang bertonase 20 ton ini akan melewati Demak, Kudus, Pati, Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik, dan tembus Surabaya. Jika perjalanan lancar tanpa hambatan, waktu tempuh 12 jam. Jika kami berangkat pukul 11.30 WIB, diperkirakan pukul 23.30 WIB kami sudah sampai di Surabaya.
Selepas macet di depan kampus IAIN Walisongo, Semarang, truk berbelok ke kanan menuju arah Pelabuhan Tanjung Emas. Pada siang hari, truk memang menghindari jalur utama kota Semarang. Alasannya, kata Misnaji perjalanan bisa lebih cepat dan tidak perlu bertemu kemacetan kota.
Truk melewati jalan yang cukup besar, kendati tetap ramai dan terdapat beberapa lobang kecil di sana sini. Laju kecepatan truk cukup stabil, berkisar 40/KM hingga 60/KM per jam. Kondisi jalan masih relatif cukup mulus.
Namun, memasuki Demak, Misnaji mulai repot memainkan presneling truk. Sepanjang jalur Pantura di Kota Demak menuju Kudus ribuan lobang menganga siap menghancurkan ban dan shock breaker kendaraan. Kedalaman lobang di sepanjang di Kota Demak beravariasi dari 10 CM sampai 20 CM. Keretakan jalan tidak terklalu lebar-lebar. Jika diambil rata-rata lebarnya 1 meter-2 meter, namun cukup untuk membuat pengguna jalan merasa mual.
“Kemarin ya, Dod, kamu hampir muntah-muntah. Pegang-pegang perut terus,” Misnaji meledek sambil mencolek perut Dodik. Dodik diam saja. Tidak membalas, ia memilih melambaikan tangan kirinya melalui jendela truk memberikan kode kepada kendaraan lainnya bahwa truk akan mengambil lajur kiri.
Di beberapa titik jalan, kendaraan harus mengantri untuk masuk dalam satu lajur saja, sedangkan satu lajur lainnya sedang diperbaiki. Antrian kendaraan bisa mencapai ratusan meter untuk satu lokasi perbaikan jalan.
Sepanjang jalur Pantura Demak paling tidak ada 5 lokasi titik jalan yang sedang diperbaiki. Salah satunya di Jalan Sultan Trenggono, Demak. Tepatnya 50 meter dari kantor DPRD Kota Demak kemacetan terjadi hingga 200 meter.
Bahan untuk menambal jalan berlobang menggunakan kerikil dan aspal. Biasanya kerikil dipadatkan di lobang-lobang jalan, kemudian aspal cair panas disiramkan di atas kerikil. Kemudian ditaburi aspal padat dan kemudian diratakan oleh alat berat berban besi.
Para sopir biasanya sudah terbiasa dan maklum dengan kerusakan jalan di Kota Wali itu. Mereka menganggap jalan itu memang dibuat dengan disain yang berlobang dan retak-retak. Jika hujan turun, jalan tersebut akan serta merta menjadi jalan yang penuh genangan air meski hujan turun dalam intensitas ringan dan hanya berlangsung beberapa saat saja.
Misnaji pun sepakat dengan pendapat para sopir lainnya, jika kondisi jalan rusak dan retak-retak di Kota Demak adalah cerita lama dan harus dimaklumi. Sekalipun dibetulkan, namun tak lama setelah itu jalan akan kembali rusak.
Ketika truk memasuki Jalur Pantura di Desa Cangkring , Rembang, Karanganyar, Demak , sempat terlontar pertanyaan dari mulut Misnaji soal keseriusan pemerintah untuk membetulkan jalan berlubang di sepanjang Pantura.
Bau aspal panas dan debu jalan memasuki kabin melalui jendela kanan kiri truk yang dibiarkan terbuka. Jalan berlobang dan retak seperti kawah-kawah kecil yang mengeluarkan debu saat terlindas ban kendaraan. Misnaji menutup sedikit lebaran jendela yang dari tadi dibiarkan terbuka.
“Tambalan di mana-mana. Besok rusak lagi,” kata Misnaji
Beberapa badan jalan memang sudah diperbaiki dan tampak mulus. Namun ironisnya, ada puluhan tambalan aspal di jalan itu yang sudah mulai mengelupas kembali. Batu-batu kerikil meloncat-loncat dari dalam lobang saat terlindas ban kendaraan mobil di depan kami.
“Tuh lihat!” seru Dodik meminta saya memperhatikan lekat-lekat kondisi tambalan aspal yang mulai mengelupas kembali.
“Macet terus. Dibetulin rusak lagi. Dibetulin rusak lagi. Mending nggak usah dibetulin kalau cuma setengah hati,” Misnaji bersuara kecil entah mengajak bicara saya atau Dodik. Atau mungkin ia sedang mengeluh sendiri.