Bisnis.com, JAKARTA--Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah mengajak semua pihak untuk mencermati pertumbuhan utang swasta di tanah air yang telah mendorong rasio utang/PDB yang pada 2013 mencapai rasio 30,24%.
“Meskipun rasio ini masih tergolong aman, namun kita semua perlu mencermati peningkatan jumlah utang luar negeri swasta,” ujarnya seperti dilansir laman Setkab, Senin (24/2/23014).
Pernyataan itu disampaikan menanggapi rilis profil utang yang disampaikan Bank Indonesia (BI), Kamis (20/2/2014) lalu.
Dalam rilis itu disebutkan, utang luar negeri Pemerintah turun dari posisi US$116,1 miliar pada 2012 menjadi US$114,2 miliar pada 2013. Pemerintah justru lebih banyak membayar cicilan dan pokok utang luar negeri sehingga jumlah utang berkurang cukup signifikan.
Adapun posisi utang luar negeri swasta non-bank mengalami lonjakan yang cukup signifikan dari US$103,2 miliar menjadi US$116,4 miliar pada akhir 2013. Utang luar negeri Bank Sentral mengalami penurunan dari US$9,9 miliar pada akhir 2012 turun menjadi US$9,2 miliar pada akhir 2013.
Kenaikan justru terjadi pada kelompok swasta non-bank yang meningkat US$23 miliar pada 2012 naik menjadi US$24 miliar pada akhir 2013.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu menjelaskan, secara agregat, rasio utang/PDB Indonesia masih relative rendah apabila dibandingkan dengan sejumlah negara di Asean dan emerging market lainnya.
Misalnya, Singapura pada 2012 memiliki utang/PDB mencapai 100%, Malaysia 52,5% dan Thailand 41,6%. Adapun sejumlah negara emerging seperti Brasil memiliki rasio sebesar 68%, Afrika Selatan 38% dan India sebesar 68%.
Namun, Firmanzah memandang perlunya mencermati peningkatan utang swasta yang tumbuh pesat akhir-akhir ini. Ia menyebutkan, kalau utang tersebut digunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif dan dalam jangkauan kemampuan membayar adalah hal yang wajar dilakukan.
Sehingga, katanya, pemanfaatan dan peruntukan utang luar negeri oleh swasta perlu digunakan untuk aktivitas yang memiliki potensi keuntungan yang memadai.
“Ekspansi swasta di Indonesia sangatlah bisa dipahami karena memang selama ini Indonesia masih membutuhkan banyak investasi di sektor riil dan infrastruktur. Hal ini ditambah dengan upaya industrialisasi dan hilirisasi di sektor mineral dan pertambangan. Kedua hal ini mendorong swasta untuk melakukan ekspansi usaha dan konsekwensinya adalah kebutuhan dana investasi yang sangat besar,” papar Firmanzah.
BATAS AMAN
Meski demikian, Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan itu meyakinkan, pemerintah dan Bank Indonesia akan terus mengelola utang luar negeri Indonesia dalam batas yang aman sehingga tidak membahayakan fundamental ekonomi yang telah terbangun kuat selama ini.
Ia menyebutkan, hal yang akan terus dicermati adalah peningkatan debt service ratio (DSR) dari 34,95% pada 2012 naik menjadi 42,73% pada akhir 2013. Pelemahan pasar ekspor dunia sepanjang 2013, katnya, telah membuat DSR kita mengalami peningkatan.
"Pada 2014 ini seiring dengan membaiknya ekonomi sejumlah negara di Eropa, Jepang dan Amerika Serikat, maka kita optimistis ekspor nasional akan mengalami peningkatan. Dan membuat DSR kita akan tetap terjaga dalam rentan tetap aman sepanjang 2014,” pungkas Firmanzah.