Bisnis.com, MALANG-Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mensinyalir produksi tebu pada 2014 bakal di bawah angka psikologis 2,5 juta ton.
Arum Sabil, Ketua Umum APTRI, mengatakan dalam kurun dua tahun terakhir yakni 2012 dan 2013 produksi tebu rata-rata mengalami penurunan sebesar 50.000 ton.
“Dan produksi 2014 kami prediksi juga akan turun seperti tahun lalu. Sejumlah faktor mengiringi penurunan tersebut ,” kata Arum usai Seminar Nasional `Integritas Rantai Pasokan dalam Persaingan Produsen Gula Nasional` di Universitas Brawijaya (UB) Malang, Sabtu (18/1/2014).
Di antara penyebab penurunan tersebut adalah karena faktor iklim (cuaca), tingkat rendemen yang rendah, serta usia varietas yang tua. Selain itu pada 2013 harga gula jatuh dan mengakibatkan kebangkrutan massal pada petani tebu yang tidak hanya berada di Jawa namun juga di luar Jawa.
Menurutnya, jika dirinci faktor cuaca tersebut menyusul kondisi basah yang panjang. Sedangkan tingkat rendemen relatif masih rendah yakni rata-rata masih dikisaran 7,5%. Sementara tuanya varietas tebu akibat petani terlambat melakukan pengangkatan.
“Karena itu sebagai ketua umum APTRI saya mendesak kepada pemerintah adanya jaminan rendemen yang minimal 9%,” jelas dia.
Faktor lainnya yang tidak kalah serius dan harus mendapat perhatian besar pemerintah adalah menyangkut tidak terkendalinya gula rafinasi yang masuk. Kondisi ini mengakibatkan tata niaga gula di dalam negeri menjadi kacau.
Terkait kondisi tersebut APTRI mendukung kebijakan Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang melarang gula rafinasi masuk di wilayah Jawa Timur melalui surat keputusan (SK) yang dibuat.
“APTRI juga memandang perlu adanya revitalisi terintegrasi terhadap pabrik gula (PG) yang ada guna mencapai rendemen yang ideal,” ujarnya.
Selama ini penetapan analisa rendemen oleh PG memang beragam. Dan analisa akan sia-sia kalau tidak dibarengi dengan adanya revitalisasi terintegrasi terhadap PG.
Untuk meningkatkan produksi, APTRI juga meminta adanya jaminan harga beli gula yakni tambahan minimal plus 10%. Dengan begitu maka akan tercapai rincian harga yang masih di atas biaya produksi. Misalkan harga gula Rp9.000 per kg jika ditambah minimal plus 10% maka akan diperoleh harga Rp9.900 per kg.
Mohammad Anton, Walikota Malang, mengatakan masalah gula memang membuat pemerintah daerah (pemda) tidak bisa berbuat banyak. Karena regulasi terkait hal itu telah ditentukan oleh pemerintah pusat.
“Utamanya menyangkut masalah tata niaga. Sehingga pemda tidak bisa apa-apa. Meskipun terkadang gula tidak bisa keluar gudang, karena kalau dijual tidak bisa mencukupi biaya produksi,” tambah Anton.