Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dana Bagi Hasil CPO Bisa Jadi Preseden Bagi Komoditas Lain

Kementerian Pertanian mengingatkan dampak usulan bagi hasil dari bea keluar crude palm oil (CPO) kepada daerah penghasil kelapa sawit, bisa menjadi preseden bagi daerah penghasil komoditas lainnya.

Bisnis.com, PEKANBARU - Kementerian Pertanian mengingatkan dampak usulan bagi hasil dari bea keluar crude palm oil (CPO) kepada daerah penghasil kelapa sawit, bisa menjadi preseden bagi daerah penghasil komoditas lainnya.

“Coba kita berfikir bagaimana dengan komoditas yang lain? Kalau dana bagi hasil dari bea keluar CPO ini dikabulkan, nanti komoditas lainnya misalnya cokelat, itu nanti ikut latah. Itu nanti provinsi penghasil utama kakao ribut lagi. Itu salah satu faktor yang harus diperhitungkan,” ujar Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan, Selasa (17/12/2013).

Dia menjelaskan ada 6 faktor lain yang patut dipertimbangkan sebelum menerima usulan tersebut. Faktor kedua, dalam UU No.33 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan ada pasal yang mematikan kemungkinan Dana Bagi Hasil (DBH) itu yakni perkebunan bukanlah komoditas yang dibagihasilkan.

“Saat ini kami masih dalam proses mengusulkan kepada DPR tentang revisi UU tersebut,” ujarnya.   Ketiga, dalam UU No.39 Tahun 2007 tentang Cukai, daerah penghasil tembakau bisa mendapatkan dana bagi hasil cukai hasil tembakau.

Sementara, CPO bukanlah kategori yang pungutannya berbentuk cukai.   “Cukai itu pungutan untuk tembakau, miras. Tapi jangan bayangkan DBH itu diterima langsung oleh para petani. Tetap frame-nya melalui APBD provinsi atau kabupaten".

Ketika DBH itu sampai ke APBD, paparnya, semuanya tergantung lagi kepada gubernur dan bupati daerah tersebut. Berdasarkan pengalaman daerah penghasil tembakau, DBH itu bisa jadi tidak 100% untuk kemanfaatan tembakau itu sendiri.  

“Ketiga, penerimaan negara dari bea keluar CPO itu sendiri sangat fluktuatif, sehingga susah membagi DBH ke daerah penghasil. Yang paling tinggi itu pada 2011, bea keluar CPO sampai Rp28,9 triliun. Padahal pada 2006 hanya Rp1,1 triliun".

Keempat, bea keluar CPO itu sendiri yang membayar adalah importir atau perusahaan dari negara tujuan akhir ekspor CPO itu, bukan daerah penghasil.    Kelima, daerah penghasil CPO itu ternyata konsisten memiliki SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) paling banyak dibandingkan dengan daerah lainnya.  

“Jadi untuk apalagi ngotot ingin DBH, orang SILPA-nya saja masih banyak dan tidak terpakai. Ya ini sinisme, kasarnya ya padahal yang sudah ada di tangan saja nggak dipakai".

Keenam, sebenarnya sudah ada UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) dan PP No.47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan PT, yang intinya menyangkut soal CSR (Corporate Social Responsibility).   

“Jadi daripada mencari DBH, kenapa tidak mengoptimalkan CSR perusahaan untuk perbaikan lingkungan dan infrastruktur di tingkat pedesaan?,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Yusran Yunus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper