Bisnis.com, JAKARTA --Prediksi pertumbuhan kelas menengah hingga 150 juta orang pada 2014 membawa angin segar di tengah ketidakpastian situasi makro ekonomi Indonesia di tahun mendatang.
Ekonom Sampoerna School of Business (SSB) Wahyoe Soedarmono mengatakan pertumbuhan kelas menengah yang diprediksi meningkat dari 50 juta orang pada 2013 menjadi 150 juta orang pada 2014 akan berdampak terhadap meningkatnya konsumsi secara agregat.
“Apalagi, 2014 adalah tahun politik sehingga faktor konsumsi diperkirakan bakal menyumbang sekitar 0,3%-0,4% dari produk domestik bruto [PDB],”ungkapnya di Jakarta, Rabu (27/11/2013).
Pada saat yang sama, lanjutnya, pertumbuhan kelas menengah akan memacu meningkatnya investasi asing sehingga mendorong ekspor secara signifikan.
Menurutnya, pergerakan kelas menengah tersebut merupakan kabar gembira di tengah iklim ketidakpastian yang akan dihadapi Indonesia pada 2014.
Menjelang akhir 2013, pemerintah, ekonom, dan lembaga riset ekonomi berlomba-lomba mengeluarkan prediksi pertumbuhan perekonomian Indonesia tahun depan. Hasilnya pun cukup bervariasi, ada yang memprediksi meningkat tipis, ada pula yang turun dari angka pertumbuhan tahun sebelumnya (2013).
Bahkan, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan perekonomian Indonesia menjadi 5,3% pada 2014, turun dibandingkan prediksi pertumbuhan perekonomian tahun sebelumnya sebesar 5,6%.
“Tahun politik adalah momen yang cukup rawan. Kebanyakan investor memilih untuk wait and see,”katanya.
Walaupun begitu, situasi ketidakpastian tersebut selalu menciptakan peluang-peluang ekonomi, salah satunya adalah pertumbuhan kelas menengah yang cukup signifikan.
Untuk itu, dia menyarankan investor menyasar segmen kelas menengah dalam perencanaan bisnisnya mengacu pada data tersebut.
Dia menuturkan pertumbuhan kelas menengah di Indomesia dapat terlihat pada meningkatnya permintaan information and communications technology (ICT) seperti telepon genggam. Kaum kelas menengah bahkan bersedia menghabiskan Rp20.000 hingga Rp200.000 per hari untuk konsumsi ICT.
Kelas menengah memang bertumbuhan pesat, ungkapnya, tetapi pemerintah masih memiliki sejumlah tantangan antara lain memerangi defisit transaksi berjalan akibat ketergantungan impor, tingkat suku bunga yang tinggi, tekanan ekonomi global, dan depresiasi rupiah.
“Kebijakan moneter dan fiskal harus selaras karena permasalahan yang harus diselesaikan cukup kompleks. Jika tidak ada harmonisasi, krisis kemungkinan akan menimpa kita lagi,” katanya.