Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nilai Tambah Kecil, Ekspor Gas Perlu Dikaji Ulang

Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan soal ekspor gas. Sebab, gas memiliki nilai tambah lebih besar bila dipakai untuk konsumsi dalam negeri.
/Bisnis
/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Kepala BP Migas Kardaya Warnika menilai pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan soal ekspor gas. Pasalnya, gas memiliki nilai tambah lebih besar bila dipakai untuk konsumsi dalam negeri.

Menurutnya, sejak 1990-ani, setiap 1 miliar British thermal unit (Btu) gas akan bernilai US$20 bila dikonsumsi dalam negeri, selisih US$5 lebih tinggi bila dibandingkan dengan ekspor. “Saya sayangkan, kok diekspor,” katanya saat dihubungi via telepon, Selasa, (26/11/2013).

Padahal, lanjutnya, pada 2004-2009, gas sempat tidak boleh diekspor, tetapi lebih diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri.

Dia menduga saat itu ada kemungkinan harga gas turun di Amerika Serikat, sehingga pemerintah meminta Sempra Energy untuk menaikkan kapasitas produksi dari 1,6 juta ton gas alam cair (liquid natural gas/LNG) menjadi 3,2 juta ton per tahun. Namun, pasokannya saat ini tidak mencapai 50%.

Menurutnya, gas bisa menjadi ‘primadona’ bila dipakai untuk konsumsi dalam negeri, sayangnya pemangku kebijakan sekarang tidak melihat itu. “Kalau perlu tak usah produksi kalau tidak untuk dalam negeri,” tegasnya.

Kardaya mengatakan konsumsi dalam negeri juga harus tepat sasaran dengan menerapkan kebutuhan energi nasional berdasarkan tingkatan yang tepat, yakni listrik, industri, rumah tangga dan transportasi.

Dia memiliki catatan khusus soal gas untuk kebutuhan energi transportasi. Berdasarkan pantauannya terhadap data OPEC dalam 10 tahun terakhir, pemanfaatan gas untuk transportasi darat lebih cocok pada bus kota. Pasalnya, bus kota memiliki trayek tetap, itupun harus dimiliki kelompok.

Dia mencontohkan bagaimana terhentinya program pemerintah yang awalnya berencana mengkonversi bahan bakar minyak dengan gas untuk mobil pribadi. “Ya, tidak jalan, karena kenyamanan yang lebih diutamakan,” ujarnya.

Di negara lain, konversi bahan bakar minyak dengan gas juga tidak jalan. Pasalnya, di negara lain lebih memilih mengembangkan mobil hybrid, berbahan bakar listrik. “Nah, kalau listriknya baru pakai gas,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Lukas Hendra
Editor :
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper