Bisnis.com, MEDAN - Pantas saja menjadi rebutan, ternyata PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) diprediksi bernilai lebih dari US$2 miliar atau sekitar Rp22 triliun.
Mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatra Utara Washington Tambunan yang kini menjabat sebagai Direktur Tambang Emas Martabe Agincourt Resources, menjelaskan nilai perusahaan Inalum kepada Bisnis.
Dia menjelaskan disela-sela pemberian bantuan senilai Rp300 juta oleh Tambang Emas Martabe milik G-Resources kepada pengungsi erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Selasa (19/11/2013).
Berapa sebenarnya nilai Inalum seandainya dilego melalui berbagai cara dan bagaimana memahami penilaian Inalum?
Pertama, penghitungan dimulai dari investasi awal hingga saat ini. Kedua, dihitung dengan prospek pengembangan bisnis Inalum ke depan.
Dari kedua pendekatan tersebut, aset Inalum bukan semata-mata senilai US$558 juta seperti kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan PT Nippon Asahan Aluminium (NAA) Jepang.
"Saya sebagai mantan Kadistamben yang berkali-kali berkunjung ke Inalum percaya dengan kualitas peralatan Inalum. Kondisinya memang sekitar 90% dari keadaan saat baru," ungkapnya.
Perlu diketahui, investasi awal Inalum saat itu sebesar 400 miliar Yen atau setara dengan US$2 miliar. Namun, ketika sudah beroperasi sekitar 1983 terjadi peningkatan kurs Yen sehingga investasi tersebut membengkak hingga US$4 miliar.
Peningkatan kurs tersebut menjadi biang keladi utang turunan sebesar US$1,6 miliar. Hal itu diakibatkan oleh adanya kerugian kurs yang terus menjadi beban Inalum sepanjang pengoperasian perusahaan.
Terlepas dari itu, sambungnya, dia mengambil contoh sebagai bahan penghitungan Inalum. Untuk PLTA Asahan II dengan kapasitas terpasang 605 Megawatt, standar nilai investasi saat ini untuk membangun PLTA sebesar US$2,5 juta/MW.
Jika dihitung, nilai investasi US$2,5 juta dikalikan 605 MW berarti investasinya mencapai US$1,5 miliar. Perkiraan investasi PLTA Asahan II mencapai US$1,5 miliar.
Kemudian untuk investasi smelter dengan kapasitas produksi 225.000-300.000 ton ingot per tahun diperkirakan mencapai US$1 miliar. Kondisi smelter dan PLTA Asahan II saat ini diprediksi mencapai 90% dari kondisi baru.
Jika dihitung investasi PLTA Asahan II dan smelter yakni 90% dikalikan US$2,5 miliar setara dengan US$2 miliar atau Rp22 triliun.
Belum lagi bila dilihat dari kemampuan Inalum dalam mencetak keuntungan lebih dari US$100 juta/tahun sejak 2006. Untuk itu, dia menilai sangat wajar bila nilai Inalum tergolong sangat besar.
"Belum lagi produk aluminium sangat diminati, dari kebutuhan dalam negeri saja Inalum belum mampu mencukupi, apalagi untuk ekspor," katanya.
Dari kedua sisi tersebut, kata dia, angka nilai Inalum diprediksi lebih dari US$500 juta - US$600 juta. Menurut Washington alangkah bijak jika menilai Inalum melalui angka lebih dari US$2 miliar.
Terlebih lagi jika Inalum telah menjadi BUMN. Tidak sulit bagi Inalum untuk memperoleh dana bagi pengembangan perusahaan ke depan. Inalum dapat digunakan untuk mendukung industri dalam negeri.
Di sisi lain, kebutuhan energi juga tetap tinggi terutama dari PLTA. Meskipun memang tidak lagi memungkinkan untuk mengambil energi hydro di sepanjang sungai Asaahan yang telah dikavling hingga Asahan III.
"Pengembangan yang paling memungkinkan adalah melalui Asahan IV, listriknya bisa digunakan untuk Sumut dan untuk pengembangan Inalum," kata dia.
Dia menyarankan pengembangan Inalum ke depan harus mencapai 500.000 ton hingga 1 juta ton ingot. Energi listrik yang dibutuhkan tentu lebih besar dari kapasitas terpasang saat ini sehingga Inalum harus bisa membangun sendiri PLTU batu bara di Kuala Tanjung.
Pantas saja Inalum menjadi rebutan banyak pihak, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemda Sumut, hingga swasta seperti PT Toba Sejahtra milik Luhut Pandjaitan dan Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo).