Bisnis.com, JAKARTA - Implementasi UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara terancam tidak tepat waktu yaitu 12 Januari 2014, karena berbagai desakan untuk mengulur komitmen pelarangan ekspor, salah satunya dari industri hilir PT Smelting Gresik.
Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI Mahfud MD mengatakan implementasi yang gagal tersebut menunjukkan inkonsistensi pelaksanaan perundang-undangan dalam negeri.
Dia menyatakan hal ini disebabkan oleh dasar pembentukan perundangan masih konservatif.
"Dalam proses pembuatan, UU tidak melibatkan masyarakat, lalu pembuatan UU terlalu intepretatif sehingga menciptakan ruang untuk melanggar prinsip," katanya, Kamis (14/11/2013).
Selain kedua hal itu, UU di Indonesia juga rawan tumpang tindih. Hal ini karena setiap departemen tidak berusaha untuk menunjukkan kerja sama.
Wacana dispensasi tenggat waktu untuk menghentikan ekspor juga berimbas pada Smelting.
Presiden Direktur Smelting Makoto Miki mengatakan adanya aturan Peraturan Menteri No.20/2013 mengenai revisi Permen No.11/2012 yang berisi tentang batasan ekspor olahan mineral, mengancam pabrik pengolahan tembaga itu tahun depan.
Dalam Permen No.20/2013 disebutkan lumpur anoda atau anoda slime harus diolah hingga batas lebih kurang sama dengan 99,99%. Selama ini, anoda slime dari perusahaan tersebut diekspor.
"Jika pemerintah Indonesia menerapkan larangan ekspor untuk anoda slime, PT Smelting akan kolaps, implikasinya PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara serta pabrik yang lain juga tidak berjalan," katanya.
Anode slime diekspor oleh Smelting karena belum ada pabrik peleburan dan pemurnian untuk produk sampingan tembaga itu.
Menurut Miki, beberapa industri yang akan terkena imbas penutupan Smelting antara lain industri kabel, industri semen, dan industri pupuk.