Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemenperin Desak Pengembangan Industri Hulu Plastik

Bisnis.com, JAKARTA- Kementerian Perindustrian mendesak pembangunan pengembangan industri oil refinery yang terintegrasi dengan industri kimia guna memperkuat struktur industri plastik dari hulu sampai hilir.

Bisnis.com, JAKARTA- Kementerian Perindustrian mendesak pembangunan pengembangan industri oil refinery yang terintegrasi dengan industri kimia guna memperkuat struktur industri plastik dari hulu sampai hilir.

Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan sesuai dengan kebijakan industri nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No.28/2008, industri karet dan plastik merupakan bagian kelompok industri yang diprioritaskan pengembangannya.

Industri plastik merupakan industri petrokimia hilir yang didorong pengembangannya karena memiliki potensi pasar yang prospektif baik di dalam maupun luar negeri.

Menurut Hidayat, meskipun struktur industri plastik nasional sudah cukup lengkap dari hulu ke hilir, kenyataannya masih ditemui tantangan dalam pengembangannya karena kapasitas produksi yang terbatas pada bahan baku. Bahan baku yang masih terbatas membuat Indonesia mengimpor naphta sebesar 1,6 juta ton dan kondesat 33 juta barel pada 2010.

“Kami akan mendorong supaya marketnya bisa memenuhi dalam negeri dan ekspor, tapi untuk plastik bahan baku masih impor. Jadi, saya mendorong keras secara maksimal agar investasi besar di bidang oil refinery itu bisa tetap berlangsung. Hal itu agar produk-produk turunannya untuk petrokimia itu bisa jalan,” kata Hidayat usai pembukaan pameran industri plastik dan karet, Selasa (10/9).

Hidayat menegaskan, refinery di bidang hulu industri kimia sangat penting untuk keberlangsungan industri manufaktur, seperti karet, plastik, dan ban. Menurutnya, potensi ketiga industri tersebut cukup besar mengingat Indonesia memiliki areal karet paling luas di dunia 3,4 juta hektar yang sebagian besar perkebunan milik rakyat dengan produksi karet per tahun sebesar 2,7 juta ton.

Begitu juga dengan potensi industri plastik, lanjutnya, konsumsi produk plastik di Indonesia masih cukup besar lantaran konsumsi nasional per kapita per tahun baru mencapai 10 kg. Angka tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara Asean, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand yang telah mencapai angka di atas 40 kg/kapita/tahun. Sebagai gambaran, saat ini industri kemasan plastik berjumlah 892 yang menghasilkan rigid packaging, flexible packaging, thermoforming dan extrusion yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia.

Salah satu yang didorong untuk segera direalisasikan adalah investasi Honam Petrochemical Corporation, yang berencana membangun kompleks industri petrokimia terintegrasi dengan nilai investasi mencapai US$5 miliar. Kompleks industri tersebut rencananya akan memproduksi propilena dan etilena yang kemudian diolah menjadi polipropilena, polietilena, butadiene, mono ethylene glycol, mixed C4 dan pygas.

Realisasi investasi Honam memang sempat terkendala masalah lahan cukup lama. Namun, lantaran  rencana investasi kompleks industri petrokimia tersebut jadi andalan Indonesia untuk menekan impor bahan kimia, maka Hidayat dengan keras memperjuangkannya.

“Honam, saya telah meminta duta besar Indonesia di korea untuk bertemu chairman Honam untuk mempercepat transaski. Responsnya, Honam mengirim tim khusus minggu ini untuk melihat lokasi dan membicarakan negosiasi harga, ” katanya.

Namun, pihaknya tidak bisa menjamin bahwa negosiasi bisa selesai tahun ini seperti yang sebelumnya dia janjikan. “Situiasi harga sedang tidak bagus, negosiasi bisa berbulan-bulan, pokoknya prosesnya sudah berjalan.”

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) Azis Pane mengatakan sekitar 74% bahan baku untuk ban diperoleh dari impor. Oleh sebab itu, pihaknya meminta pemerintah untuk mengundang investor bahan baku berinvestasi di Indonesia.

“Pada 1996 sebelum krisis saya pernah mengatakan Indonesia akan menjadi sentra ban dunia. Pada waktu itu Pertamina juga sangat aktif bikin bahan baku. Namun, semua cita-cita itu terhapus sesudah krisis 1998 dan kami mulai lagi dari nol pada 2002 dan baru membaik 2005.”


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Riendy Astria
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper