Bisnis.com, BANDUNG - Pemerintah Provinsi Jawa Barat memrotes rencana keluarnya instruksi presiden terkait penentuan upah minimum provinsi (UMP) 2014.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar Hening Widiatmoko mengatakan keluarnya Inpres untuk menyikapi situasi moneter yang tengah bergejolak bisa dianggap jalan keluar yang tepat.
"Akan tetapi, menjadi salah karena [Inpres] tersebut jadi menabrak aturan soal penentuan upah," katanya hari ini, Senin (2/9/2013).
Menurutnya, penetapan UMP untuk sektor padat modal 10% plus inflasi dan padat karya 5% plus inflasi secara aturan tidak diperbolehkan.
Padahal untuk menetapkan, Dewan Pengupahan harus mensurvei 60 komponen hidup layak (KHL) terlebih dahulu.
"Kalau mau berdasarkan inpres itu, aturan yang ada harus diubah semua, dari Keppres sampai Peraturan Menaker," katanya.
Dia mengatakan posisi Dewan Pengupahan pun jika Inpres ini diterapkan harus direvitalisasi terlebih dahulu. Tetapi, masalahnya apakah perubahan tersebut memungkinkan karena waktu penetapan upah adalah 40 hari sebelum ditetapkan pada 21 November.
"Kami sudah punya jadwal, apakah mungkin revitalisasi dan sosialisasi kebijakan baru waktunya mencukupi," katanya.
Revitalisasi dewan pengupahan di seluruh tingkatan juga dikhawatirkan akan mengacaukan proses penetapan upah yang sudah berlangsung baik.
"Kalau ini tidak dicermati bisa jadi bom waktu. Bukan hanya buat buruh tapi bagi seluruh unsur dewan pengupahan yang terdiri dari pemerintah, pengusaha, dan buruh," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah terkesan tidak konsisten terlihat dari rencana survei KHL secara independen oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Hening menilai dengan memaksakan BPS masuk ke dalam dewan pengupahan pemerintah tidak memercayai lembaga yang sudah bertahun-tahun merumuskan upah secara independen tersebut.
Hening menilai jika Inpres tidak mengantisipasi ekses dari perubahan kebijakan di semua level, maka posisi dewan pengupahan dalam bahaya.
"Dewan pengupahan tugasnya melakukan survei KHL. Kalau BPS melakukan survei tersebut sendiri,buat apa ada dewan pengupahan. Jangan sampai nanti hasil survei BPS mendapat penolakan," ujarnya.
Jika inpres tersebut ditandatangani, pihaknya berharap Menakertrans segera membuat aturan ikutan yang bisa memperjelas secara teknis inpres tersebut.
"Tapi kedudukan Kerpres 107/2004 harus diperjelas dulu. Saya tidak yakin aturan itu bisa dirubah dalam waktu yang sangat dekat. Inpres ini tidak mempertimbangkan banyak hal, bisa jadi bom waktu," katanya.
Secara terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar Deddy Widjaya menilai jika Inpres itu terbit maka semua pihak harus menganut pada aturan tersebut sebab aturan tersebut jauh lebih tinggi kedudukannya daripada Menakertrans.
"Sejauh ini Inpres tersebut belum keluar karena baru dalam tahap perencanaan dan pembahasan. Jadi harus dilihat dulu isinya seperti apa," katanya.
Mengingat inpres tersebut belum keluar, katanya, tidak ada pilihan kecuali tetap berpegang teguh pada regulasi yang berlaku soal survei kebutuhan hidup layak yang dilakukan Dewan Pengupahan.
Meskipun demikian, dia optimistis inpres baru yang mengatur nilai UMP/UMK ditentukan 10% dari inflasi tahun sebelumnya tidak akan meringankan beban pengusaha.
Sebab, katanya, pengusaha sejak awal tahun ini didera berbagai macam hambatan bisnis berupa kenaikan tarif dasar listrik, BBM, UMP dan pelemahan rupiah.
Dia menilai apabila kenaikan UMP terus terjadi tanpa perhitungan yang tidak wajar akan akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK).
Saat ini, kontribusi beban UMP pada biaya produksi untuk sektor usaha padat karya 30%-50% dan 10% pada usaha padat modal. Oleh karena itu, meskipun Inpres terbit pengusaha tetap merugi.
"Melemahnya nilai rupiah mendorong penaikan harga jual dan konsumen yang akan dibebani. Kalau tidak, kami yakin akan semakin banyak perusahaan gulung tikar," katanya.