BISNIS.COM, JAKARTA--Sejak 2009, pemerintah telah menyatakan niat untuk menurunkan emisi Co2 di Indonesia hingga 26% pada 2020. Niat tersebut disusul dengan strategi nasional reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut atau skema REDD+.
Namun, 4 tahun berselang, lembaga REDD+ belum juga terbentuk. Bagaimana progres REDD+ di Indonesia menurut kacamata Direktur Jenderal Global Green Growth Intitute Howard Bamsey. Berikut kutipan wawancara Bisnis, pekan lalu.
Bagaimana Anda melihat implementasi REDD+ di Indonesia?
Redd+ memang sulit untuk diimplementasikan di mana pun. Sekitar 10 tahun yang lalu, banyak yang berpikir bahwa mereduksi emisi adalah pekerjaan yang murah dan mudah. Tetapi sekarang kita tahu bahwa itu tidak akan murah, dan jauh dari sederhana, sangat rumit. REDD+ butuh keterlibatan begitu banyak pihak, pemerintah, perusahaan, lembaga khusus, divisi monitoring, divisi finansial, divisi regulasi, dan ahli-ahli di bidangnya.
Saya secara personal juga ikut dalam pengembangan REDD+ di Indonesia beberapa tahun lalu. REDD+ di Indonesia perlu melibatkan masyarakat, menyerap aspirasi mereka, sambil mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi. Pemanfaatan hutan juga harus didasari prinsip keberlanjutan. Jadi ini pilihan-pilihan yang harus diambil pemerintah agar sesuai dalam menjalankan agenda REDD+.
Pemerintah Indonesia minta pendampingan GGGI soal alternatif pembiayaan REDD+?
Saat kita mulai bicara soal mekanisme pembiayaan di belakang REDD+, tentu akan sulit jika sepenuhnya bergantung pada hibah negara lain. GGGI bukan lembaga pembiayaan, kami tidak punya uang, tetapi kami punya koneksi. Kami bekerja dengan sektor swasta secara erat. REDD+ butuh inovasi pembiayaan dan kami akan upayakan melalui koneksi dengan pihak ke-3.
Siapa yang berpotensi mendanai REDD+ di Indonesia?
Pada tingkatan ini mungkin pemerintah dari negara lain. Banyak negara yang berminat untuk mengambil bagian dalam penurunan emisi karbon. Selain itu, juga anggaran dari pemerintah Indonesia tentu saja. Tapi yang utama, kita harus mampu menggiring sektor swasta berpartispasi dalam pendanaan REDD+ secara massif. Untuk itu, harus ada payung hukum dan kerangka operasional REDD+ yang jelas.
Negara mana yang Anda lihat sukses menjalankan REDD+?
Satu negara yang cukup berhasil adalah Guyana di Afrika, yang juga bekerja sama dengan Norwegia. Selain itu, Brazil juga telah melakukan progres yang cukup besar dalam menurunkan deforestasi. Tetapi di Brasil juga tidak mudah, 3 langkah maju, kemudian mundur lagi.
Apa Indonesia juga punya potensi untuk menjalankan ini dengan baik?
Tentu saja. Saya cukup optimistis atas kontribusi REDD+ terhadap perekonomian Indonesia yang lebih berkelanjutan dan kesejahteraan rakyatnya. Kalau ini berhasil, kontribusinya akan besar terhadap penurunan emisi karbon. Karena seperti kita tahu degradasi dan deforestasi menyumbang 20% emisi global.