BISNIS.COM, JAKARTA--Indonesia harus merealokasi penghematan belanja subsidi BBM untuk menambah investasi di sektor infrastruktur yang pertumbuhannya tercatat melambat dari rata-rata 24% dalam 5 tahun terakhir menjadi hanya 8% pada 2013.
Enrico Tanuwidjaja, Ekonom Asia Tenggara Royal Bank of Scotland (RBS), menuturkan terjadi perlambatan pertumbuhan anggaran belanja infrastruktur dalam struktur APBN 2013.
Pasalnya, dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan belanja infrastruktur dalam APBN rata-rata mencapai 24%. Adapun dalam APBN 2013, pertumbuhannya hanya 8%.
Dalam APBN 2013, anggaran belanja modal dialokasikan sebesar Rp184,4 triliun. Sedangkan dalam APBN-P 2012 pagunya ditetapkan sebesar Rp177,7 triliun.
"Kalau bisa menghemat subsidi BBM, bisa dialokasikan untuk infrastruktur. Ini bisa membuat ekonomi Indonesia lebih stabil," katanya dalam paparan Proyeksi Perekonomian dan Pasar Indonesia, Kamis (18/04/2013).
Apabila terjadi peningkatan investasi di sektor infrastruktur, imbuhnya, daya saing Indonesia semakin tinggi, inflasi bisa dikendalikan dengan lebih baik, dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi ikut meningkat.
"Belanja investasi meningkat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2013 bisa lebih tinggi dari proyeksi kami 6,5%," tuturnya.
Enrico menuturkan selain investasi infrastruktur, konsumsi domestik masih menjadi kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2013. Belanja jelang Pemilu 2014, kenaikan upah minimum regional (UMP), belanja pegawai dan belanja barang pemerintah turut menopang kuatnya konsumsi domestik di Indonesia.
Adapun lonjakan inflasi yang sempat terjadi sepanjang Januari-Maret 2013, dinilai Enrico hanya bersifat temporer. Menurutnya, inflasi tahun kalender yang mencapai 2,43% tidak disebabkan oleh masalah struktural melainkan didorong oleh hambatan di sisi suplai dan perubahan kebijakan terkait perdagangan.
RBS memproyeksikan inflasi pada 2013 berada pada tingkat 5,2%. Namun, proyeksi tersebut belum termasuk dampak inflasi dari penerapan dual price terhadap BBM premium.
"Kalau BBM jadi naik dengan skema itu, inflasi bisa mendekati 8%," ujarnya.
Enrico menilai penerapan dual price hampir sama dengan penaikan harga BBM bersubsidi secara keseluruhan. Pasalnya, di Indonesia, mobil plat hitam banyak digunakan sebagai angkutan barang yang terkait dengan faktor-faktor produksi dan berisiko mendongkrak harga pangan dan sandang.
Tanpa risiko inflasi, RBS merekomendasikan agar Bank Indonesia mengambil respon moneter dengan menaikkan suku bunga FASBI sebesar 50 basis poin menjadi 4,5%.
Namun apabila inflasi berisiko melonjak seiring kebijakan BBM bersubsidi, Enrico menyarankan agar BI menaikkan BI rate dari 5,75% menjadi 6,25%.
"Ini sinyal bahwa ada risiko inflasi dari BBM. Pasar domestik harus dijaga supaya credit growth tidak terlalu tinggi," tuturnya.
Lebih lanjut, RBS kredit perbankan di Indonesia tumbuh cukup tinggi pada kisaran 20-22%. Namun, dibandingkan Vietnam, China, Malaysia, Thailand, dan Brazil, tingkat pertumbuhan kredit di Indonesia masih lebih rendah.
Pertumbuhan kredit tersebut didorong oleh kebutuhan pembiayaan untuk membayar ekspansi barang modal, baik mesin maupun sumber daya manusia.
"Ini masih bisa dipercepat sedikit ke kisaran di bawah 25-30%, tetapi kalau terlalu cepat bisa memicu inflasi dan overheating," papar Enrico.