TUHAN MUNGKIN menciptakan pulau Lombok ini sambil tersenyum. Kalimat itu diucapkan berulang kali oleh Lalu Mayadi, Kabid Perikanan Budidaya Dinas Kelautan & Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Dia memang tak bercanda kala menyampaikan kalimat itu kepada perwakilan 29 media nasional yang diundang dalam kegiatan Press Tour 2012 yang diadakan Pusdatin Kementerian Kelautan & Perikanan akhir pekan lalu (23-25 November 2012).
Bagi Lalu Mayadi, Lombok merupakan pulau yang cantik dan subur. Nusa Tenggara Barat sebenarnya juga memiliki pulau Sumbawa, tetapi Lombok adalah pulau dengan jumlah penduduk terbanyak atau dihuni nyaris duapertiga dari penduduk NTB yang lebih dari 4,49 juta orang (Wikipedia).
Lombok memang tak hanya mengandalkan kemolekan pantai Senggigi ataupun Gili Trawangan dan misteri Gunung Rinjani. Pulau yang dalam bahasa Sasak disebut "lombo," atau "lurus", memiliki produksi pertanian dan perikanan yang dapat diandalkan.
Pulau Lombok tentu bukan mengandalkan buah cabai atau lombok. Lalu Mayadi menyebutkan pemerintah provinsi NTB mengandalkan PIJAR-singkatan dari sapi, jagung dan rumput laut.
Rumput laut memang jadi andalan NTB untuk menjadi sentra produksi nasional, bersaing dengan Sulawesi Selatan dan Jawa Timur guna mengejar prestasi Maluku.
Selama 5 tahun terakhir, Nusa Tenggara Barat mulai menjadikan rumput laut sebagai primadona dengan konsep minapolitan. Pada 2006, produksi rumput laut (Eucheuma Cottonii) NTB sebesar 32.000 ton dan kemudina naik menjadi 36.000 ton pada 2007.
Nilai tersebut kemudian naik menjadi 70.000 ton pada 2008 dan 100.000 ton pada 2009 dan melonjak dua kali lipat pada 2010.
Data Kementerian Kelautan & Perikanan memperlihatkan produksi rumput laut Indonesia pada 2011 mencapai 5,17 juta ton. Sebanyak 4,54 juta ton di antaranya merupakan rumput laut jenis cottoni.
"Pada 2011 kami targetkan produksi 250.000 ton. Tahun ini 500.000 ton dan 2013 bisa satu juta ton. Sekarang realisasinya telah lebih dari 400.000 ton," kata Lalu Mayadi.
Target sejuta ton pada 2013 itu merupakan produksi rumput laut basah yang bila menjadi produk kering mencapai 546 ton lebih dengan kualitas rumput laut standar ekspor.
Kinerja produksi rumput laut, terutama yang dijadikan komoditas jenis kering, memang menjadi program pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan di provinsi, terutama di Lombok yang dulu dikenal sebagai Kerajaan Selaparang.
Produksi rumput laut NTB dipasarkan menjadi barang ekspor ke Eropa dan China, selain permintaan lokal yang juga tinggi.
Kini di sepuluh sentra minapolitan rumput laut di NTB, dibentuk kelompok-kelompok nelayan yang mengembangkan budi daya Eucheuma Cottonii.
"Nelayan yang dulu mengebom ikan kini mulai menanam rumput laut," ungkap Mayadi.
Ujang Komarudin, Kepala Balai Budidaya Laut Lombok mengatakan rumput laut merupakan komoditas yang sangat menguntungkan. Mei hingga Agustus merupakan waktu yang paling tepat untuk budi daya rumput laut. Bulan lainnya juga dibolehkan tetapi hasilnya tak terlalu memuaskan.
Dengan pola penanaman long line ataupun juga dengan bambu apung, budidaya rumput laut bisa dipanen enam kali setahun.
Satu long line rata-rata memproduksi 2,5 ton rumput laut basah, dan kala dikeringkan menghasilkan 375 kilogram, atau setiap satu kwintal (100 kilogram) rumput laut basah yang dikeringkan akan menjadi 15 kilogram rumput laut kering.
Harga jualnya mencapai Rp1.000/kilogram rumput laut basah, dan Rp5.000/kilogram rumput laut kering. Setidaknya hasil penjualan nelayan dari satu long line bisa Rp15 juta. Nilai yang lebih dari lumayan untuk masa kerja tiap 1,5 bulan.
Namun Ujang Komarudin menyebutkan cuaca yang tak menentu belakangan ini bisa membuat produksi rumput laut kering akan berkurang, di samping optimalisasi lahan yang baru 30%.
Pendampingan
Keberadaan BBL Lombok memiliki peran penting dalam membantu pemprov dan masyarakat dalam mengembangkan budidaya rumput laut. Penguasaan rekayasa teknologi menjadi katalisator yang mendukung produksi.
Ujang boleh berbangga karena BBL Lombok mencapai prestasi rekayasa teknologi untuk rumput laut NTB. BBL Lombok sendiri merupakan salah satu 15 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tersebar di Tanah Air.
Balai yang dipimpin pria Tasikmalaya yang tahun lalu memimpin BBL Aceh tersebut, sukses menguasai teknik domestikasi, seleksi thallus, produksi bibit rumput laut yang berkualitas dan tersedia sepanjang tahun.
Selain itu para nelayan budidaya juga diuntungkan dengan adanya bantuan sarana untuk pengembangan rumput laut dan penanganan pascapanen, serta progam pendukung lainnya. Tenaga penyuluh dan pendamping dari BBL Lombok juga memiliki peran penting.
Sayangnya, produksi rumput laut NTB masih berupa produk bahan baku (rumput laut kering) dan semi karaginan. Faktor nilai tambah diperlukan agar produk rumput laut bisa menguntungkan seperti pengolahan menjadi tepung rumput laut.
Memang sejumlah hal masih menjadi tantangan tersendiri bagi pemangku kepentingan kegiatan produksi rumput laut seperti belum adanya standar nasional untuk derivat produk rumput laut, biaya pengolahan limbah tinggi dan belum ada lembaga penyangga.
2013 juga menjadi asa pemprov NTB untuk memiliki pabrik karaginan yang diharapkan menyerap tenaga kerja sebanyak 149.140 orang dengan perkiraan pendapatan pembudidaya sekitar Rp3,35 triliun rupiah.
Setidaknya, Tuhan pun mungkin tersenyum kala melihat para petani di Lombok meraup untung dari hamparan rumput laut demi mengejar kesejahteraan keluarga, dan capaian hidup yang lebih baik di masa mendatang.