JAKARTA: Semakin banyaknya produsen garmen dan tekstil yang beralih menjadi pedagang berpotensi memicu lonjakan impor produk garmen dan tekstil hingga 10% pada 2013.
Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesoris Indonesia (APGAI) mengkhawatirkan fenomena tersebut akan semakin menggerus devisa dan menganggu stabilitas nilai tukar rupiah serta perekonomian nasional secara luas.
Wakil Ketua APGAI Suryadi Sasmita menuturkan dari total sekitar 800 perusahaan pemegang ribuan merek garmen dan aksesoris, yang merupakan anggota APGAI, hampir 90% menutup pabriknya sejak beberapa tahun terakhir.
Perusahaan-perusahaan garmen dan tekstil tersebut beralih usaha menjadi pedagang dengan membeli produk dari China, Vietnam, dan bahkan dari Bangladesh untuk dipasarkan di dalam negeri.
“Hampir 90% anggota APGAI sudah tidak bikin pabrik, beralih jadi trader. Mereka lebih senang membeli produk dari luar karena kalau bikin di sini sangat high cost [mahal],” ujarnya, Rabu (21/11/2012).
“Seperti merek Yongki, Fladeo, dan Hammer, itu tidak punya pabrik di sini, merek beli sepatu dari China,” tambahnya.
Di sisi lain, kata Suryadi, tingkat permintaan produk garmen dan tekstil di Indonesia terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk.
Sementara itu, pasokan produk dari dalam negeri semakin sedikit seiring dengan menyusutnya jumlah pemain local.
“Karenanya saya pekirakan impor [produk garmen dan tekstil] akan meningkat 10% pada tahun depan,” tuturnya.
Berdasarkan kalkulasinya ada sekitar 100 juta pembeli potensial produk-produk garmen dari total jumlah penduduk yang mencapai kisaran 250 juta jiwa.
Setiap pembeli potensial rata-rata membutuhkan tiga buah pakaian, celana, sepatu, dan aksesoris lainnya, dengan estimasi nilai konsumsi sekitar Rp3 juta per orang.
“Jadi sebenarnya nilai penjualan produk garmen dan tekstil di Indonesia itu besar, sedangkan yang tercatat hanya sebagian kecil. Penjualan seperti di ITC dan Pasar Tanah Abang itu belum terekam,” tuturnya.
Asosiasi Perstekstilan Indonesia (API) mencatat nilai penjualan produk garmen dan tekstil pada tahun lalu mencapai Rp90 triliun.
Menurut Suryadi, setiap merek garmen rata-rata memiliki sekitar 300 toko untuk perusahaan besar, dan sekitar 50 toko untuk usaha kecil dan menengah (UKM).
Total pramusaji yang dipekerjakan mencapai kisaran 500.000 orang, dengan asumsi per toko dijaga 3 pramusaji.
Dengan naiknya upah minimum provinsi (UMP) Jakarta dan sekitarnya menjadi di atas Rp2 juta per bulan, Suryadi Sasmita mengatakan banyak pemasok garmen dan tekstil yang keberatan.
Perusahaan garmen dan tekstil mengalami dilematis untuk menjaga neracanya tetap seimbang, antara mengurangi jumlah pekerja atau menaikan harga jual produk secara signifikan.
“Saya sudah usul ke Matahari dan ritel-ritel lainnya, bagaimana kalau dibuat jam operasional hanya satu shift. Jadi bisa hemat 50% [ongkos tenaga kerja]. Cuma kasihan separuh SPG harus dirumahkan,” katanya.
Kondisi tersebut, lanjutnya, tidak hanya akan semakin mengurangi jumlah produsen, tetapi juga pemasok garmen dan tekstil.
Bahkan, beberapa pemasok garmen besar telah menyatakan niatnya untuk menutup toko-tokonya karena tak sanggup menggaji mahal pekerjanya.
“Mulai besok saya akan list satu-satu dari ribuan merek mau tutup toko berapa. Hammer berapa, Wacoal berapa, Snoopy berapa. Say ajuga akan hitung berapa jumlah SPG yang akan berkurang,” tegasnya. (bas)