JAKARTA: Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi) mengkhawatirkan kegiatan impor barang berstatus less than container load (LCL) melalui pelabuhan justru akan melonjak.
Hal itu terkait dengan penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor:27/M-DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Angka Pengenal Importir (API) per 1 Mei 2012.
Sekjen Ginsi Achmad Ridwan Tento mengatakan importir umum harus mengantongi API sesuai dengan peraturan tersebut dalam kegiatan importasi per komoditas di pelabuhan, menyusul penerbitan regulasi itu.
“Dampaknya, aktivitas impor akan bergeser dari sebelumnya menggunakan full container load akan menjadi LCL,” ujarnya kepada Bisnis hari ini, Jumat, 18 Mei 2012.
Dia mengatakan jika sebelumnya izin importir umum bisa dipergunakan melakukan importasi lebih dari satu jenis komoditi, tetapi dengan aturan tersebut kini tidak diperkenankan lagi.
Para importir yang tidak siap dengan aturan tersebut justru dikhawatirkan menunjuk mitra atau afiliasinya untuk menangani kargo impor, sehingga importasi dilakukan dengan cara LCL.
Barang impor berstatus LCL adalah barang-barang yang di dalamnya dimiliki lebih dari satu pemilik yang dimuat dalam satu kontainer.
Sebelum dikeluarkan dari pelabuhan, barang tersebut selama ini disimpan pada fasilitas container freight station (CFS) atau gudang dan lapangan yang mengantongi izin tempat penimbunan sementara untuk pelayanan barang eks impor yang dibongkar di pelabuhan.
Di sisi lain, Ridwan memaparkan penanganan pengeluaran barang impor berstatus LCL di pelabuhan sangat mahal, karena komponen dan biaya penanganannya hingga saat ini belum transparan.
Bahkan, Ginsi telah menghitung inefisensi akibat tidak transparannya biaya jasa logistik penanganan kargo impor berstatus LCL di lini 2 dan pergudangan Pelabuhan Tanjung Priok saja diperkirakan mencapai US$ 192 juta/tahun.
Dia mengatakan inefisensi diduga adanya rabat (pengembalian) yang diberikan mitra forwarder konsolidator kepada consigne (pemberi order) di luar negeri untuk penanganan kargo impor LCL rata-rata mencapai US$ 100/kubik.
Untuk memenuhi rabat tersebut, mitra forwarder konsolidator di Pelabuhan Tanjung Priok akhirnya membebani tarif diluar batas kewajaran sebagaimana yang terjadi hingga saat ini.
Dia mengasumsikan volume kargo per peti kemas impor bestatus LCL melalui lini 2 pelabuhan Priok mencapai rata-rata 8.000 kontainer per bulan.
Jika tiap kontainer diasumsikan terdiri dari 20 kubik, setiap bulan terdapat 160.000 kubik atau 1.920.000 kubik per tahun. "Jika dikalikan US$ 100, inefisensi penanganan logistik di lini 2 itu mencapai US$ 192 juta pertahun,” ujarnya. (spr)
BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA:
- KINERJA KORPORASI: Indofarma Tak Bagi Dividen
- KINERJA USAHA: Laba Bersih Ancol Naik 44,7%
- BURSA ASIA: Indeks Rontok, Menumpuk Kerugian
- SEPAK BOLA: Polandia Dongkrak Citra Melalui Euro 2012
- HARGA EMAS Turun Di Level Terendah
MORE ARTICLES:
- RAKUTEN Leads US$100 Million Investment In Pinterest
- SUKHOI CRASH: Rescue Coordinator Confirms No Survivors
- MANCHESTER CITY & TEVEZ Apologizes For The RIP Fergie Poster
- JAKARTA POLICE: Lady Gaga Promotor Has Not Yet Asked For Permission
- Obama Puts International Spotlight On Camp David
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel