Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI: Sikap IMF bergeser terkait kontrol modal

JAKARTA: Pejabat Bank Indonesia mengatakan sikap Dana Moneter Internasional bergeser menyusul kebijakan kontrol modal yang tidak dianggap tabu bagi negara berkembang di tengah derasnya aliran modal masuk. Dodi Budi Waluyo, Kepala Biro Kerja Sama Multilateral,

JAKARTA: Pejabat Bank Indonesia mengatakan sikap Dana Moneter Internasional bergeser menyusul kebijakan kontrol modal yang tidak dianggap tabu bagi negara berkembang di tengah derasnya aliran modal masuk. Dodi Budi Waluyo, Kepala Biro Kerja Sama Multilateral, Direktorat Internasional Bank Indonesia, menjelaskan sikap unik IMF tersebut terungkap dalam Spring Meeting IMF, Bank Dunia, Menteri Keuangan dan gubernur bank sentral G-20 di Washington DC, Amerika Serikat, 14-17 April.Terkait capital inflows, IMF sudah tidak lagi mengatakan tabu pada kebijakan capital control karena ekonomi [suatu negara] bisa berdampak negatif karena derasnya inflow. Suatu negara bisa melakukan itu, ujarnya dalam jumpa pers di kantor Kementerian Keuangan, hari ini.Menurut dia, terjadi pergeseran sikap IMF dalam melihat ketidaksatabilan ekonomi global saat ini. IMF tidak lagi menganggap negara-negara berkembang yang menerima aliran modal sebagai penyebab, akan tetapi lebih menyoroti pemburukan ekonomi negara maju sebagai pemicu capital inflow."IMF kini lebih seimbang melihat antara negara maju yang mengeluarkan likuiditas dan negara berkembang yang menerima likuiditas. Sudah ada kerangka untuk mengatasi dapak negatif dari capital inflows. Seperti kita tahu capital inflow itu pesat ke Indonesia dalam 2-3 tahun, tidak hanya memberi dampak juga buat instabilitas ekonomi Indonesia, ujarnya.Mulia Panusunan Nasution, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, menuturkan dalam Spring Meeting anggota G-20, IMF dan Bank Dunia fokus pada pengelolaan ekonomi tujuh negara pemilik 5% PDB G-20, seperti AS dan China, terkait upaya menyeimbangkan perekonomian global. Hal itu berkaitan pula dengan upaya reformasi sistem moneter internasional dengan menghindari instabilitas moneter dan menjaga keseimbangan hubungan dagang antarnegara."Kami melakukan itu melalui Chiang Mai Initiative di Asean+3, untuk bisa segera mengefektifkan mekanisme kerja sama pada tingkat regional, tuturnya.Menurut Mulia, ketidakseimbangan perdagangan antarnegara saat ini dipicu oleh sikap sebagian negara, seperti China, Brasil, dan Rusia, yang menghimpun cadangan devisa dalam jumlah besar. Untuk itu, tengah dipertimbangkan untuk melakukan perluasan mata uang baru yang bisa dijadikan acuan perdagangan internasional dari empat yang saat ini ada, dolar AS, poundsterling, euro, dan yen."China sudah mengumpulkan cadangan devisa sangat besar, dari utang AS saja hampir 50% yang dibeli asing, sebagian besar itu dipegang oleh China. Oleh karena itu, perlu dibahas kemungkinan perluasan mata uang yang akan dijadikan acuan dalam SDR (special drawing rate), apakah termasuk mata uang China, tuturnya.Pada kesempatan yang sama, plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Permadi Sumantri Brodjonegoro melihat ada kesan negara-negara anggota G-20 enggan untuk menekan aksi spekulasi yang menjadi penyebab melonjaknya harga komoditas dunia. Padahal, gejolak harga komoditas menjadi salah satu masalah yang saat ini meresahkan banyak negara.Kalau saya tangkap beberapa negara enggan untuk intervensi kedalam bursa komoditinya, yang paling bisa melakukan itu adalah regulator dari bursa komoditinya. Selain itu, karena ini fenomena baru, kebanyakan negara belum punya konsep yang kuat untuk menekan spekulasi, ujarnya.Padahal, lanjutnya, isu mengatasi aksi spekulasi di pasar komoditas menjadi agenda pembahasan dalam pertemuan Spring Meeting. Isu itu mencuat berangkat dari keprihatinan banyak negara yang merasa peningkatan harga pangan dalam beberapa waktu terakhir turut memberikan tekanan inflasi dalam negeri.Mulia Nasution menambahkan sejauh ini negara anggota G-20 hanya akan melakukan pertukaran informasi untuk menekan aksi spekulasi. Pasalnya, gejolak harga pangan yang terjadi disebabkan oleh volume komoditas yang diperdagangkan belasan kali lebih tinggi ketimbang volume produksinya.Jadi, untuk menghindari spekulasi perlu ada pertukaran informasi untuk mengetahui berapa sebenarnya suplai yang ada dan berada di mana saja. Jadi butuh transparasi dari para pemain di pasar komoditas, kata Mulia.Sebenarnya, lanjutnya, G-20 juga telah menugaskan International Organization of Security Commisions (IOSCO) utnuk membuat kajian mengenai pengaturan dan pengawasan pasar tunai dan derivatif komoditas, termasuk didalamnya menyusun mekanisme intervensi pemerintah. Hal itu untuk mencegah penyalahgunaan dan manipulasi harga.(yn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Mursito

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper