Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan Muhammadiyah, sebagai organsiasi Islam terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama (NU), untuk menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara adalah pukulan telak bagi komitmen transisi energi Indonesia.
Sebelumnya NU juga memberikan pukulan telak bagi komitmen transisi energi Indonesia dengan menyatakan menerima tawaran pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), berupa IUP batu bara.
Dengan pukulan telak, yang hampir tanpa jeda itu, bisa dipastikan akan membuat komitmen transisi energi Indonesia limbung dan akhirnya mundur jauh ke belakang. Padahal, pada 2022, publik sempat menilai pemerintah menunjukan komitmen transisi energi yang kuat melalui transisi energi.
Di ajang KTT G20 di Bali, Indonesia berhasil menggalang skema pendanaan transisi energi di Indonesia. Skema pendanaan itu adalah JETP (Just Energy Transition Partnership).
Prinsip dasar JETP adalah mengurangi penggunaan batu bara di sektor ketenagalistrikan dan menggantikannya dengan pembangkit listrik berbasikan energi terbarukan.
Komitmen transisi energi pemerintah Indonesia terus mengalami kemunduran dari waktu ke waktu. Terkait dengan skema pendanaan JETP misalnya, sejak awal Presiden Jokowi tampaknya sudah setengah hati melakukan transisi energi.
Baca Juga
Menjelang peluncuran skema JETP di KTT G20, Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Sekilas dari judul Perpres 112 itu menunjukan komitmen pemerintah untuk pengembangan energi terbarukan, tetapi jika ditelisik lebih jauh lagi peraturan presiden itu bisa ditafsirkan sebagai payung hukum bagi kelanjutan bisnis batu bara melalui PLTU di kawasan industri.
Dalam Perpres 112 disebutkan bahwa pembangunan PLTU batu bara masih tetap diperbolehkan di kawasan industri hingga 2050. Seperti gayung bersambut, dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP yang diluncurkan pada November 2023 juga tidak memperhitungkan sama sekali PLTU di kawasan industri ini.
Seiring berjalannya waktu, komitmen transisi energi Indonesia makin melemah. Pada awal 2024, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, melalui siaran pers resminya, mengungkapkan bahwa bauran energi terbarukan hingga 2024 masih di angka 13,1%. Padahal target di tahun 2025 sebesar 23% bauran.
Hanya berselang sebulan, tepatnya pada Februari 2024, Dewan Energi Nasional (DEN) sedang menyusun revisi PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dalam revisi itu target bauran energi terbarukan memang diturunkan, dari 23% menjadi antara 17 hingga 19% pada 2025.
Komitmen transisi energi terus melemah hingga, Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres No. 14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon. Perpres ini akan menjadi payung hukum bagi kegiatan carbon capture storage (CCS) di Indonesia. Padahal, bila ditelisik lebih jauh penggunaan teknologi CCS ini hanya akan memperpanjang usia pemakaian energi fosil. Padahal makin lama energi fosil tetap digunakan makin sulit pula pengembangan energi terbarukan. Pertanyaan berikutnya adalah apakah masih ada harapan komitmen transisi energi pemerintah Indonesia ini akan menguat di bawah pemerintahaan baru Prabowo Subianto?
Di berbagai kesempatan Presiden Indonesia terpilih Prabowo Subianto selalu menegaskan bahwa ia akan melanjutkan kebijakan Presiden Jokowi, tak terkecuali kebijakan energi. Dengan penegasan Prabowo Subianto itu sebenarnya kita bisa melihat bahwa komitmen transisi energi Indoensia dalam 5 tahun ke depan tidak berubah. Artinya, tetap melemah. Bahkan bisa jadi akan terus melemah karena Presiden Indonesia ke depan, selain berkomitmen untuk melanjutkan kebijakan Jokowi, juga memiliki rekam jejak yang sangat dekat dengan industri batu bara.
Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), seperti ditulis di laman website-nya, Prabowo pernah menjadi pemegang saham di PT Nusantara Energy. Perusahaan batu bara itu memiliki luas konsesi sebesar 4.793 hektare di Berau, Kalimantan Timur.
Prabowo, menurut data tersebut, juga menjadi salah satu pemegang saham PT Nusantara Kaltim Coal yang didirikan pada 2005. PT Nusantara Kaltim Coal memiliki konsesi tambang batu bara seluas 11.040 ha di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Bukan hanya itu, dalam Pilpres 2024, Prabowo juga mendapat dukungan dari para pemilik modal di sektor energi fosil termasuk batubara. Bahkan bos perusahaan batu bara Garibaldi ‘Boy’ Thohir, dengan percaya diri menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto.
Pertanyaan berikutnya adalah dalam 5 tahun kedepan, apakah publik masih bisa berharap komitmen transisi energi Indonesia akan menguat di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, sosok yang memiliki rekam jejak sangat dekat dengan energi kotor batu bara?
Mungkin saja Prabowo Subianto berubah. Politik itu dinamis, termasuk politik energi, ungkap sebagian pakar politik. Bukan tidak mungkin juga bila Prabowo Subianto justru akan lebih kuat komitmen transisi energinya daripada Jokowi. Namun, itu tidak semudah membalik telapak tangan, perlu desakan publik agar Prabowo berani mengubah arah kebijakan iklim dan energi Presiden Jokowi yang salah arah.
Celakanya, saat ini bila publik harus memberikan tekanan kepada pemerintah terkait persoalan iklim dan transisi energi, mereka juga harus berhadapan pula dengan NU dan Muhammadiyah. Ke depan, kedua ormas Islam itu juga akan menjadi pemain bisnis energi kotor batu bara. Sebagai pemain bisnis energi kotor, NU dan Muhammadiyah tentu tidak ingin terjadi transisi energi di Indonesia berjalan mulus, karena transisi energi hanya akan berpotensi menganggu bisnisnya. Lima tahun ke depan, komitmen transisi energi di Indonesia berada dalam titik nadir. Masihkah publik mampu menyalakan lilin untuk mengusir gelap, jika ormas agama yang harusnya menyalakan lentera kini lebih nyaman untuk berada dalam kegelapan?