Bisnis.com, JAKARTA - Industri perkapalan di RI mulai limbung diterpa sejumlah beban permasalahan dan tantangan yang harus ditanggung oleh pengusaha.
Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) mengeluhkan tantangan sumber daya manusia (SDM) di industri maritim dan perkalapan yang masih minim hingga pungutan hasil penggunaan kapal yang tinggi.
Ketua Umum Iperindo, Anita Puji Utami mengatakan pihaknya sangat membutuhkan kaderisasi SDM di industri ini, khususnya tenaga kerja untuk reparasi kapal yang setiap tahun meningkat.
"Kemarin saja, dengan adanya tambahan pekerjaan berupa perawatan kapal dari industri pelayaran yang sudah melakukan kegiatan secara maksimal, kebutuhan SDM pada industri perkapalan saja masih sangat kurang sekali," ujar Anita, dikutip Senin (1/4/2024).
Terlebih, dia mencatat adanya pesanan untuk bangunan baru, salah satunya proyek di Batam, ada tambahan bangunan baru berupa pembelian 50 set kapal tunda (tug boat) dan tongkang (barge).
Anita menegaskan bahwa tenaga kerja di industri maritim dan perkapalan perlu ditambah, terutama ditekankan pada SDM yang telah mengantongi sertifikasi.
Baca Juga
Terlebih, sejak Program Tol Laut yang diluncurkan oleh Presiden Jokowi pada 2015, menurut dia ada banyak sekali SDM yang terserap di industri perkapalan dan galangan.
Faktanya, saat ini Anita melihat industri perkapalan hanya bergantung pada kegiatan reparasi dan perawatan kapal. Kondisi ini membuat banyak SDM yang tersertifikasi memilih beralih profesi di antaranya menjadi pengemudi ojek online.
"Padahal, sebagai pengemudi ojek online, mereka sudah di latih dan di training sampai memperoleh sertifikasi," tuturnya.
Di sisi lain, industri galangan kapal disebut masih sepi pesanan dengan rata-rata hanya 1-2 unit untuk bangunan baru. Anita menyebut subsektor ini masih defisit order sejak berjaya pada waktu Program Tol Laut.
Sementara itu, industri saat ini hanya mampu menyerap tenaga kerja tak lebih dari 1.000 orang per tahun. Padahal, jumlah kapal saat ini yang naik dock per tahun mencapai 30.000 unit.
Lebih lanjut, Anita juga mengeluhkan berbagai kendala seperti perizinan yang masih tumpang tindih, suku bunga kredit dua digit, terminal khusus (Tersus), Terminal untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) sampai pungutan penggunaan kapal hasil perikanan yang dilakukan oleh KKP dan Kemenhub.
“Nilai pungutan itu bisa mencapai Rp18 juta per hektare. Tergantung dari luas galangan yang dipakai. Maunya kami pungutan ini dilakukan oleh Kemenhub atau KKP. Salah satu saja dan idealnya pun hanya Rp1 juta. Jika tidak ini sangat membebani kami,” pungkasnya.