Bisnis.com, JAKARTA - Kendaraan listrik (electric vehicles/EV) adalah moda transportasi masa depan. Siap atau tidak siap, disrupsi transportasi berbasis energi baru dan terbarukan, serta yang ramah lingkungan (green, clean energy) ini sedang berlangsung secara perlahan tetapi pasti. Perubahan dan disrupsi adalah satu keniscayaan.
Menurut International Energy Agency (IEA), untuk menahan laju emisi karbon global yang makin tidak terkontrol, setidaknya 60% mobil baru yang diedarkan sampai 2030 haruslah EV, dan harus mencapai 100% pada 2050. Terdengarnya memang masih lama, tetapi proses perubahan ini memerlukan momentum atau tipping point.
Dalam industri EV, peningkatan besar-besaran terhadap demand EV akan terjadi setelah market share-nya mencapai 5%—10%. Peningkatan setelah tipping point ini cenderung akan eksponensial.
Realitasnya, jumlah kendaraan listrik yang sekarang sudah beredar secara global masih kurang dari 10% menurut IEA, atau hanya 8,3% total kendaraan bermotor yang ada pada 2021.
Sementara, di Indonesia, jumlah EV yang sudah beredar masih sangat sedikit. Gaikindo memperkirakan jumlah EV yang sekarang beredar hanya sekitar 1%, sesuai data penjualan semua jenis EV pada 2023.
Meskipun demikian, masih banyak kendala yang dihadapi dalam memasarkan EV. Pertama, terbatasnya sebaran dan kapasitas charging stations. Bagi banyak konsumen, ketersediaan charging stations sangat memengaruhi keputusan membeli EV, apalagi konsumen dengan mobilitas tinggi.
Baca Juga
Kedua, terbatasnya fasilitas pembiayaan kepemilikan kendaraan listrik. Lembaga perbankan dan pembiayaan dianggap belum mendukung pengembangan EV di Indonesia.
Ketiga, biaya aftersales yang berpotensi menjadi tinggi dalam jangka panjang. Hal tersebut akibat diperlukan penggantian baterai yang diprakirakan mencapai setengah dari harga EV keseluruhan.
Dengan banyaknya kendala adopsi dan penyebaran EV di Indonesia, apakah masih mungkin EV menjadi raja jalanan di Tanah Air sebelum 2030, atau bahkan pada 2050? Agak pesimis memang.
Sesungguhnya ada formula sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan skala pengembangan infrastruktur EV, yaitu use case. Formula ini dapat menjawab pertanyaan krusial, berapakah tipping point industri EV di dunia ini? Serta berapa besar skala industri EV untuk bisa mengancam industri otomotif konvensional?
Salah satu teori yang cukup diterima dalam industri EV adalah teori 5%, yang didasari pengalaman beberapa negara yang sudah tinggi penggunaan EV seperti Norwegia dan negara Skandinavia lainnya.
Formula ini menyatakan ketika pangsa pasar EV sudah mencapai 5%, akan terjadi lonjakan (spike) dalam permintaan dan penjualan EV. Hal ini di antaranya disimpulkan oleh Frank Geels & Martina Ayoub dalam tulisannya yang dimuat di Technological Change and Forecasting, Agustus 2023.
Dalam kasus Norwegia, tipping point 5% didapat pada kuartal III/2013, dan pada kuartal II/2023 (10 tahun kemudian) pangsa pasar EV sudah mencapai 82,1%. Di Denmark dan Finlandia yang 5%-nya baru diperoleh pada 2020 (kuartal III dan kuartal IV), posisi tahun 2023 baru mencapai 32,0%—-33,5% (Sumber: BloombergNEF).
Formula ini sesungguhnya sejalan dengan konsep tipping point yang dipopulerkan oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point (2000). Salah satu yang paling terkenal adalah klaim Gladwell bahwa seseorang akan menguasai sesuatu secara sangat mahir jika menghabiskan sekurangnya 50.000 jam untuk melatih suatu keahlian, atau profesi.
Salah satu cara meningkatkan volume penjualan EV serta mendorong tipping point 5% adalah melalui lembaga keuangan. Lembaga keuangan berperan memberikan pembiayaan pemilikan EV, sehingga mengakselerasi adopsi EV di masyarakat. Terlebih, minat masyarakat terhadap EV makin meningkat dalam beberapa waktu terakhir dan berpotensi untuk terus tumbuh.
Lembaga keuangan dapat mengembangkan produk pembiayaan kendaraan khusus EV sebagai bagian dalam portofolio green financing dengan menjalin kerja sama dengan brand EV di Indonesia, termasuk layanan aftersales-nya. Di saat yang sama, produk pembiayaan khusus tersebut dibutuhkan mengingat karakteristik risiko EV yang berbeda dibanding kendaraan konvensional, sehingga lembaga keuangan dapat tetap tumbuh dengan portofolio yang berkualitas.
Produk pembiayaan yang menarik dan kompetitif, memiliki peran penting dalam mendorong adopsi kendaraan listrik di masyarakat mencapai tipping point 5%.
Penulis merekomendasikan pemerintah untuk fokus mengejar tipping point EV 5%. Tidak hanya melalui insentif fiskal, tetapi juga menggandeng lembaga keuangan agar lebih agresif menawarkan pembiayaan kepemilikan EV di masyarakat. Insentif bagi lembaga keuangan juga bisa menjadi opsi bagi pemerintah untuk mendorong hal ini.
Strategi kolaborasi dengan lembaga keuangan semestinya saling menguntungkan: industri EV makin tumbuh dan eksposur ESG lembaga keuangan juga meningkat.