Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Essential Services Reform (IESR) menyayangkan revisi peraturan menteri terkait pemanfaatan PLTS atap cenderung berpihak pada kepentingan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
IESR menilai sejumlah ketentuan yang dimuat dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2024 Tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum itu dapat menghambat partisipasi konsumen listrik, khususnya sektor rumah tangga dan bisnis kecil.
Dalam peraturan baru ini, skema net-metering dihapuskan sehingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PLN tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurang tagihan listrik.
Permen ini juga menetapkan mekanisme kuota sistem PLTS atap pada sistem kelistrikan pemilik izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum (IUPTLU) untuk 5 tahun.
“Net-metering sebenarnya sebuah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS atap. Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2 - 3 kWp untuk konsumen kategori R1,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa lewat siaran pers, Jumat (23/2/2024).
Tanpa net-metering, kata Fabby, biaya investasi per satuan kilowatt-peak bakal menjadi tinggi. Konsekuensinya, keekonomian sistem PLTS atap khususnya pada sektor rumah tangga dan bisnis kecil menjadi tidak menguntungkan.
Baca Juga
“Dan biaya baterai yang masih relatif mahal, kapasitas minimum ini tidak dapat dipenuhi sehingga biaya investasi per satuan kilowatt-peak pun menjadi lebih tinggi. Inilah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” kata Fabby.
Selain itu, dalam peraturan ini ditetapkan periode pendaftaran setahun 2 kali dan kompensasi yang diberikan oleh negara pada PLN jika biaya pokok penyediaan tenaga listrik terdampak karena penetrasi PLTS atap.
IESR menilai peniadaan skema net-metering akan mempersulit pencapaian target proyek strategis nasional (PSN) berupa 3,6 gigawatt (GW) PLTS atap pada 2025 dan target energi terbarukan 23% pada tahun yang sama.
Fabby berpendapat pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil akan cenderung menunda adopsi PLTS atap karena permintaan puncak listrik mereka terjadi di malam hari, sedangkan PLTS menghasilkan puncak energi di siang hari.
Tanpa net-metering, investasi PLTS atap menjadi lebih mahal, terutama jika pengguna harus mengeluarkan dana tambahan untuk penyimpanan energi (battery energy storage).
Untuk PLTS atap kapasitas lebih besar dari 3 megawatt (MW), Permen ini mewajibkan pengguna untuk menyediakan pengaturan basis data prakiraan cuaca yang terintegrasi dengan sistem Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) atau smart grid distribusi milik pemegang IUPTLU.
“Peraturan ini menghilangkan kewajiban membayar biaya paralel pembangkitan listrik, yaitu biaya kapasitas dan biaya layanan darurat yang sebelumnya diterapkan ke industri - setara 5 jam per bulan. Penghapusan biaya paralel ini menambah daya tarik bagi pelanggan industri. Namun, kewajiban penyediaan weather forecast untuk sistem lebih dari 3 MW juga akan menambah komponen biaya pemasangan,” kata Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR.
Marlistya juga menyoroti pengaturan termin pengajuan permohonan oleh calon pelanggan, yang dilakukan menjadi dua kali per tahun, yakni tiap bulan Januari dan Juli.
“Pengaturan ini serta penetapan kuota per sistem jaringan memunculkan pertanyaan terkait transparansi penetapan dan persetujuan kuota, terutama untuk pelanggan industri yang ingin memasang PLTS atap dalam skala besar, sementara mekanisme IUPTLU untuk menambah kuota ketika kuota sistem sudah habis tidak diatur jelas dalam peraturan ini,” tutur Marlistya .
Permen ini memberikan jaminan bagi para pelanggan yang sudah memanfaatkan sistem PLTS atap sebelum peraturan ini diundangkan, tetap terikat pada peraturan sebelumnya hingga 10 tahun berikutnya. Termasuk masih mendapat manfaat dari sistem ekspor listrik PLTS atap.
“Sebagai pengguna PLTS atap on-grid, sebenarnya saya justru memiliki pertanyaan tentang aturan peralihan ini, mengingat selama pemasangan, ekspor PLTS atap masih dihitung setara 0,65 tarif tenaga listrik berdasar Permen ESDM No. 49/2018, tidak 1:1 seperti Permen ESDM No. 26/2021. Aturan peralihan ini perlu diinformasikan secara jelas pada pengguna PLTS atap saat ini,” kata Marlistya.
IESR mendesak agar dilakukan evaluasi setelah 1 tahun pelaksanaan Permen untuk mengetahui efektivitasnya dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Pemerintah perlu secara terbuka untuk merevisinya pada tahun 2025 seiring dengan menurunnya ancaman overcapacity listrik yang dihadapi PLN di Jawa-Bali.
Revisi Permen Nomor 26/2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum sebelumnya diharapkan dapat menjadi jalan tengah antara kepentingan PLN dengan industri dan masyarakat yang berinisiatif untuk meningkatkan pemasangan panel surya mendatang.
Beberapa kali inisiatif pembenahan beleid itu jalan di tempat lantaran kekhawatiran ihwal beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan kelebihan pasokan listrik atau oversupply yang saat ini masih ditanggung PLN.
Sebelumnya, Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan, otoritas fiskal telah bersedia untuk mengalihkan APBN sebagai kompensasi apabila terjadi kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik pada sistem tertentu setelah adopsi besar-besaran PLTS atap di tengah masyarakat nantinya.
“Kalau misalnya nanti ada kenaikan BPP dari PLN itu nanti akan dibebankan ke negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata Feby saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (5/2/2024).
Sementara itu, Feby menggarisbawahi kementeriannya memutuskan untuk meniadakan aturan soal ekspor listrik yang dimaksudkan sebagai pengurang tagihan listrik konsumen yang memasang PLTS atap.
Manuver itu disebutkan untuk menjaga beban keuangan perusahaan setrum pelat merah itu di tengah kelebihan pasokan listrik atau oversupply yang terlanjur lebar saat ini.
“Kapasitas yang dipasang itu nantinya akan dipakai untuk konsumen itu sendiri jadi diharapkan konsumen memasang sesuai dengan kebutuhannya. Nanti akan disesuaikan dengan kuota, PLN akan mengeluarkan kuotanya,” kata Feby.