Bisnis.com, JAKARTA - Tiga kereta berteknologi tinggi besutan Indonesia bakal mendapat berkah periode Natal 2023 & Tahun Baru 2024. Akan kah momentum ini dimanfaatkan untuk memperbarui catatan rekor penumpang masing-masing?
Seperti diketahui, Tanah Air punya Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta, kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh), dan kereta ringan alias lintas rel terpadu (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek).
MRT Jakarta yang saat ini menghubungkan kawasan Lebak Bulus sampai Bundaran HI, merupakan yang paling senior karena telah beroperasi sejak Maret 2019. Sementara itu, Whoosh dan LRT Jabodebek masing-masing baru meluncur pada Oktober 2023 dan Agustus 2023.
Berdasarkan catatan Bisnis, ketiganya punya rekor penumpang terbaru yang terdorong oleh kondisi yang berbeda-beda. Misalnya, MRT Jakarta mendapat berkah konser Coldplay, sementara yang lain didorong momen liburan sekolah.
MRT Jakarta Ketiban Berkah Coldplay
MRT Jakarta tercatat telah membawa lebih dari 29,9 juta penumpang sejak beroperasi hingga 27 November 2023. MRT Jakarta ternyata memiliki rekor penumpang harian yang juga dicatatkan pada pertengahan bulan lalu.
Kepala Divisi Corporate Secretary PT MRT Jakarta (Perseroda) Ahmad Pratomo menjelaskan rekor penumpang harian terjadi pada 15 November 2023 atau bertepatan dengan konser Coldplay di Indonesia.
"Rekor harian kami 163.162 orang pada saat 15 November 2023 lalu dengan okupansi 92.25%. Lebih tinggi dari rata-rata penumpang harian kami di angka 90.818 orang," ujar Ahmad kepada Bisnis baru-baru ini, dikutip Kamis (14/12/2023).
Pasalnya, selama konser yang berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno itu, MRT Jakarta memang memberlakukan jadwal operasi khusus, bahkan masih beroperasi sampai pukul 01.30 WIB esok harinya untuk memberikan akses para penonton selepas konser usai.
LRT Jabodebek Incar Momen Liburan
Manager Public Relations LRT Jabodebek Mahendro Trang Bawono menjelaskan bahwa jumlah penumpang di bulan November 2023, yakni 890.715 penumpang dengan rata-rata per hari 29.000 penumpang.
Capaian itu terbilang turun dari jumlah penumpang di bulan Oktober 2023, yakni 1.032.216 penumpang dengan rata-rata per hari 33.000 penumpang.
"Terjadinya penurunan penumpang karena terjadi pengurangan jumlah perjalanan LRT Jabodebek. Okupansi juga turun, dari bulan Oktober sebesar 35% menjadi 26% pada bulan November," jelasnya kepada Bisnis.
Mahendro menjelaskan jumlah penumpang tertinggi terjadi pada 28 September 2023 sebanyak 87.852 penumpang. Hal itu terjadi karena saat tanggal 28 September adalah hari libur terakhir sebelum tarif flat Rp5.000 berakhir.
Artinya, banyak pula masyarakat yang memanfaatkan momentum tersebut untuk menggunakan LRT Jabodebek sebagai salah satu pilih transportasi menikmati hari libur.
Oleh karena itu, muncul promo terbaru yang saat ini juga ditujukan untuk melihat tren serupa. Tepatnya, promo per 1 Desember 2023 lewat pengenaan tarif maksimal Rp10.000 untuk pengguna di jam non-sibuk (sebelum 05.59 WIB, mulai 09.00 WIB sampai 15.59 WIB, dan selepas 19.00 WIB), serta hari libur dan akhir pekan.
"Harapannya membuat LRT Jabodebek lebih ramai di hari libur akhir tahun, serta bisa meringankan beban penumpang yang kerap naik di waktu-waktu off peak," ujar Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (DJKA Kemenhub) Risal Wasal baru-baru ini.
Risal menjelaskan bahwa saat ini ada penambahan pola operasi menjadi 16 trainset dari sebelumnya 12 trainset, sehingga harapannya headway menjadi sekitar 15 menit.
"Kapasitas menjadi lebih besar, dan pengguna jasa menunggunya jadi lebih singkat, karena dengan ini perjalanan setiap hari mencapai 202 perjalanan hari kerja, dan 200 perjalanan di weekend," tambahnya.
Nantinya, DJKA meminta pengelola LRT Jabodebek bersiap merealisasikan rencana mengoperasikan 27 train set setiap hari dari total 31 train set yang tersedia. Rencana ini akan mulai diuji coba secara bertahap dalam waktu dekat.
Menanti Rekor Baru Whoosh
Terpisah, Manajer Corporate Communication KCIC Emir Monti menjelaskan data perjalanan jumlah penumpang yang telah menggunakan kereta cepat Whoosh hingga akhir November telah menyentuh 637.000 penumpang.
"Adapun, rekor jumlah penumpang terbanyak terjadi pada 19 November 2023 dengan total 21.528 penumpang per hari," ungkapnya.
Untuk rata-rata jumlah penumpang adalah 21.000 untuk akhir pekan dan 18.000 di hari kerja. Adapun, okupansi penumpang di hari kerja sebanyak 85%-95% dan 90%-99% pada akhir pekan.
Untuk periode 1-26 November 2023, tercatat terdapat 780 perjalanan kereta cepat Whoosh.
Dari ratusan perjalanan kereta cepat Whoosh ini, sekitar 99,7% kereta berangkat tepat waktu dan rata-rata kelambatan pemberangkatan hanya 1,2 detik saja. Sementara untuk kedatangan, sebanyak 95,4% kereta datang tepat waktu.
Catatan dari Pelanggan
Indonesia sah naik kelas sebagai negara yang mampu menghadirkan Ular Besi berteknologi tinggi sebagai penopang mobilitas warganya. Namun, pemangku kepentingan jangan sampai besar kepala, karena ujian yang menanti akan lebih keras lagi, demi melangkah ke jenjang yang lebih tinggi.
Seiring beroperasinya kereta cepat Whoosh dan LRT Jabodebek pada tahun ini, ujian yang harus dituntaskan para pemangku kepentingan masih berkutat pada konsistensi pelayanan dan mengatasi berbagai kekurangan dari sisi operasional.
Untuk LRT Jabodebek, beberapa penumpang setia mengaku mengharapkan waktu tunggu yang lebih cepat. Salah satunya Alfi Salima, karyawan swasta Ibu Kota yang rutin menggunakan LRT Jabodebek dari Stasiun Jatibening menuju Stasiun Cikoko untuk pergi ke kantornya.
Sebelumnya, wanita asal Pondok Gede, Kota Bekasi ini terbiasa naik bus kota untuk pergi ke kantor. Kemacetan pun menjadi makanannya sehari-hari.
Oleh karena itu, kendati Alfi harus merogoh kocek biaya transportasi harian lebih dalam, tepatnya dari sekitar Rp7.000 menjadi sekitar Rp17.200 per hari, Alfi tetap akan menjadi penumpang setia LRT Jabodebek.
"Tapi kalau naik LRT masih harus pantengin jadwal, karena pengalaman dulu pernah nunggu hampir sejam. Sekarang sudah lumayan cepat. Saya suka karena sebanding dengan harganya, terutama karena bersih, nyaman, dan lebih cepat karena menghindari macet. Semoga rangkaian keretanya bisa lebih banyak ke depan," ujarnya kepada Bisnis.
Senada, pekerja media M. Rahman yang sehari-hari bertugas meliput Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pun merasakan kebermanfaatan LRT Jabodebek untuk menjalani aktivitas sehari-hari.
Kendati perjalanannya pulang-pergi dari Stasiun Ciracas ke Stasiun Setiabudi mencapai Rp29.800, Rahman mengaku masih LRT Jabodebek masih worth it ketimbang menggunakan kendaraan pribadi, asalkan waktu tunggunya bisa terus dioptimalkan.
"Sebagai gambaran, saya dari rumah ke daerah Kuningan Setiabudi harus lewat Kramat Jati, Cililitan, Cawang, Pancoran, dan Kuningan. Itu semua titik macet. Jadi LRT manfaatnya signifikan. Hanya saja, waktu ada kasus banyak LRT yang mesti perawatan, waktu tunggunya jadi lumayan lama. Kalau bisa jangan sampai terulang, sih," jelasnya.
Bergeser ke Whoosh, beberapa penumpang dari kawasan Kota Bandung pun sempat mengalami nasib serupa atas isu keterlambatan KA pengumpan (feeder).
Namun, secara umum penumpang Whoosh lebih sensitif terkait isu harga, salah satunya Anggi Oktarinda, karyawan salah satu agensi PR di Ibu Kota yang kerap bolak-balik ke kampungnya di Rancaekek, Kabupaten Bandung.
"Sebelum ada Whoosh, saya sering pakai KA Argo Parahyangan ketimbang bus atau travel. Jadi selama tarif Whoosh masih promo, enak banget karena bisa menghemat waktu. Tapi kalau tarif sudah normal, mungkin nanti hanya akan naik kalau ada kebutuhan, misalnya meeting mendadak," jelasnya.
Sebagai perbandingan, apabila Anggi memiliki jadwal rapat atau menemui klien di kawasan Jakarta Pusat jam 10.00 WIB, maka Anggi harus memulai hari sejak pukul 04.30 WIB pagi menuju Stasiun Bandung, kemudian menaiki KA Argo Parahyangan.
"Kalau pakai Whoosh, berangkat jam 08.00 WIB pun masih keburu. Tinggal naik ojek ke Stasiun Tegalluar, terus sampai Stasiun Halim cepat sekali. Kerja dari kereta pun enak, nggak goyang. Nah, justru setelah sampai itu, kadang nunggu LRT Jabodebek yang lebih lama," jelasnya.
Menurut Anggi, salah satu kekurangan Whoosh justru berasal dari segi akses ke kawasan Kabupaten Bandung Timur yang masih belum terbangun dengan layak.
"Kalau ke Kota Bandung bagus, tapi ke Bandung Timur harus lewat sawah-sawah, terus kalau malam gelap gulita, nggak ada lampu. Jadi bisa dibilang belum adil buat warga kabupaten, ya," tambah Anggi.
Vice President for Research, Development and Training di Intelligent Transport Systems (ITS) Indonesia sekaligus Associate Professor di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB) Yos Sunitiyoso menilai para pemangku kepentingan harus lebih siap untuk menghadapi berbagai tantangan atas komitmen pengembangan transportasi rel.
"Setelah Indonesia lulus proses pembelajaran dari sisi teknologi, operasional, dan layanan, masih ada yang harus dipersiapkan lagi, yaitu bisnis pengembangan kawasan dan bagaimana menggenjot pendapatan nontiket. Karena bagaimana pun, mindset mengelola transportasi publik itu harus berani rugi dan berani subsidi," jelasnya.
Yos menekankan bahwa pengelola Whoosh dan LRT Jabodebek bisa mencontoh moda raya terpadu (MRT) di Ibu Kota yang sudah terbilang bagus dalam upaya menggenjot pendapatan nontiket alias non farebox revenue, serta mulai mengembangkan kawasan transit oriented development (TOD).
Sementara untuk benchmark terbaik di luar negeri, MTR di Hong Kong bisa menjadi tolok ukur tertinggi, seiring statusnya sebagai salah satu transportasi rel yang sudah bisa meraup cuan lewat optimalisasi pendapatan nontiket.
"MRT Jakarta memang adopsinya lebih cepat karena penerapan teknologinya instan, tidak banyak diganggu proses pembelajaran mandiri seperti ketika membangun LRT atau Whoosh. Tapi menurut saya, dua kereta baru ini jangan sampai kalah dengan MRT dalam menghadapi tantangan berikutnya, yaitu membantu pemerintah terus mengurangi beban subsidi lewat memacu bisnis nontiket," tambah Yos.
Ke depan, Yos berharap pemimpin selanjutnya bisa meneruskan komitmen pengembangan transportasi rel dan kawasannya, sebab dua hal itu merupakan kunci membangun pemerataan ekonomi di kawasan satelit Ibu Kota.
"Kawasan stasiun merupakan pusat perekonomian baru yang sangat potensial. Contoh, ada salah satu mal yang terhubung langsung dengan Stasiun LRT Bekasi Barat, sekarang itu jadi semakin ramai. Terutama, karena mulai jadi pusat kegiatan dan pertunjukan hiburan. Ini persis seperti efek MRT Jakarta ke kawasan Blok M," tutupnya.