Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, Darmawan Prasodjo, mengatakan terdapat kelebihan pasokan listrik sebesar 7 gigawatt (GW) hingga akhir 2022.
Kelebihan pasokan listrik hingga menyentuh 7 GW disebabkan permintaan listrik pada 2022 hanya di kisaran 1,2 GW hingga 1,3 GW.
“Kami memang menghadapi kondisi oversupply di Pulau Jawa, selama 12 bulan ini ada penambahan kapasitas sekitar 7 GW dan penambahan demand-nya hanya sekitar 1,2 GW hingga 1,3 GW,” kata Darmawan saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Jakarta, Rabu (15/2/2023).
Adapun, pemerintah sempat memproyeksikan potensi kelebihan pasokan listrik PLN dapat mencapai 5 GW pada tahun ini. Kendati demikian, Darmawan menerangkan, perseroannya berhasil mengurangi beban take or pay (ToP) mencapai RP47,05 triliun untuk periode 2021 hingga 2022.
Adapun, porsi pengurangan ToP yang signifikan disepakati pada periode 2021 dengan nilai mencapai Rp37,21 triliun.
“PLN berhasil mengurangi ToP sebesar Rp47,05 triliun hingga 2022 dengan cara renegosiasi dan juga melakukan pemunduran operasi pembangkit dari IPP,” ujarnya.
Di sisi lain, PLN mampu menurunkan saldo utang hingga Rp41 triliun sepanjang tahun buku 2022. Dengan demikian, saldo utang perusahaan setrum pelat merah itu pada 2022 turun ke level Rp409 triliun dari pencatatan Rp450 triliun pada 2020.
Sementara itu, beban bunga berhasil ditekan ke level Rp21 triliun pada laporan keuangan 2022 yang belum teraudit. Posisi beban bunga itu turun dari pencatatan 2020 lalu yang sempat di angka Rp27,4 triliun.
“Adanya kenaikan pendapatan diitingi dengan pengurangan investasi, belanja operasi dan pembayaran utang yang kita percepat sehingga pembayaran bunga dan pokok juga bisa berkurang sampai Rp7 triliun,” jelasnya.
Dengan demikian, rasio cakupan pelunasan utang atau debt service coverage ratio (DSCR) PLN naik ke posisi 1,97 pada 2022. Rasio itu naik 0,56 kali lipat dibanding posisi sebelumnya di level 1,41 pada 2021.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta PLN untuk meniadakan skema ToP dalam perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan pengembang listrik swasta atau independent power producer (IPP).
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana, mengatakan langkah itu diambil lantaran beban pembelian listrik dari IPP yang relatif besar saat ini.
Malahan, kata Rida, beban itu berpotensi untuk meningkat seiring dengan kontrak-kontrak dari program 35.000 megawatt (MW) yang mulai komersial tahun ini.
“Kita sangat menghormati kontrak yang ada, tetapi karena ini menyangkut kepentingan nasional tentu saja kita imbau untuk pelaku penandatanganan kontrak ke depan jangan lagi ToP, kita juga sudah berlebih,” kata Rida saat konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (30/1/2023).
PLN melaporkan beban pembelian listrik dari pembangkit swasta hingga triwulan ketiga 2022 berada di angka Rp94,22 triliun.
Beban pembelian listrik itu mengalami kenaikan signifikan 22,58 persen jika dibandingkan dengan pembelian listrik pada periode yang sama pada 2021 di posisi Rp76,86 triliun.
Hanya saja, pertumbuhan pembelian tenaga listrik itu tidak ikut diimbangi dengan penjualan listrik yang relatif bergerak moderat pada periode yang sama.
PLN mencatatkan penjualan listrik sebesar Rp231,04 triliun sepanjang Januari hingga September 2022 atau hanya naik 8,57 persen jika dibandingkan dengan pencatatan pada periode yang sama tahun sebelumnya di angka Rp212,8 triliun.
“ToP itu dulu terpaksalah kasarannya, karena dulu kita kekurangan listrik, tapi sekarang kita kan berlebih malah take and pay mungkin yang kita akan berlakukan, ke depan kita beli kalau kita perlu saja,” ungkapnya.
Menurut dia, skema ToP saat ini relatif membebani keuangan PLN. Apalagi, pasokan listrik PLN sudah terlanjur berlebih akibat program 35.000 MW.
“Ke depannya kita beli bayar untuk yang kita pakai saja, ke depannya akan ke arah sana jadi pure bisnis seperti itu supply demand di pasar saja,” paparnya.