Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Realisasi Pajak Karbon Bakal Memberatkan Industri

Wacana tersebut juga baru bersumber dari Kerangka Ekonomi Makro Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022 yang disampaikan Menteri Keuangan belum lama ini.
Asap membubung dari cerobong-cerobong asap sebuah pabrik pemanas di Jilin, China. /Reuters
Asap membubung dari cerobong-cerobong asap sebuah pabrik pemanas di Jilin, China. /Reuters

Bisnis.com, JAKARTA — Pengenaan pajak karbon dinilai masih sebatas wacana publik guna mengetahui suara baik dari pelaku usaha atau masyarakat secara keseluruhan saat ini. Pasalnya komunikasi langsung dari pemerintah belum terjadi.

Wacana tersebut juga baru bersumber dari Kerangka Ekonomi Makro Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022 yang disampaikan Menteri Keuangan belum lama ini.

Kendati belum jelas skema pengenaannya, tetapi prinsipnya pemerintah akan mengenakan pajak karbon pada wajib pajak orang pribadi dan badan atas emisi karbon. Sejauh ini, pajak yang akan dikenakan senilai Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Pakar Otomotif sekaligus Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengatakan saat ini defisit keuangan pemerintah sudah sangat besar sehingga kebijakan tidak populer seperti ini menjadi jalan yang bisa ditempuh. Namun, hal ini tentunya juga menjadi bagian dari komitmen Indonesia dari perjanjian Paris yang sudah disepakati.

"Pada 2029 Indonesia harus mulai membuahkan kinerja pengurangan emisi karbon. Untuk itu idealnya mulai dilakukan komunikasi yang jelas dan dibentuk institusi bersih berteknologi canggih sebagai pengawas agar tidak terjadi ketimpangan pungutan nantinya," kata Yannes kepada Bisnis, Senin (28/6/2021).

Dia menyebut meski kebijakan ini akan sulit tetapi pemerintah masih bisa memberikan skema reward dan punishment khususnya bagi industri. Hal itu mengingat struktur industri di Tanah Air kebanyakan adalah padat energi, padat karya, dan padat limbah.

Menurut Yannes, pengenaan nantinya juga bisa dilakukan secara bertahap dan dengan skema penandatanganan perjanjian komitmen usaha berikut dengan reward yang bisa didapat jika terealisasi.

Yannes menyebut, pemerintah tidak boleh lupa 30 persen energi listrik yang dipakai di Indonesia berasal dari fosil dan dikelola oleh perusahaan pelat merah sendiri.

"Jadi bisa dibayangkan nanti, sudah industri bayar energinya mahal kemudian ketika operasional pabriknya masih akan terkena pajak lagi. kebijakan ini akan kompleks karena menyangkut budaya dan sensitivitas sosial ekonomi yang tinggi," ujarnya.

Sementara itu, dari sisi pribadi masyarakat pengenaan wajib pajak ini akan semakin mahal bagi yang memiliki kendaraan tua. Dia mencontohkan pajak untuk kendaraan Toyota Hardtop akan sama dengan Mercedes seri atas.

Alhasil, Yannes menilai dengan berbagai pertimbangan di atas rasanya pemerintah tidak akan bisa membebani pungutan yang terlalu ekstrem dan dalam jangka pendek saat ini.

Dia hanya berharap jika diterapkan nantinya tidak akan terjadi hal-hal yang harus diselaraskan seperti kebijakan PPnBM kemarin, di mana pemerintah harus mengubah diksi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) menjadi local purchase.

"Kalau local purchase itu kan sebenarnya masih barang impor yang diperdagangkan di sini karena TKDN yang disyaratkan dalam PPnBM terlalu tinggi waktu itu sekitar 70 persen," kata Yannes.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ipak Ayu
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper