Bisnis.com, JAKARTA - Aspek pemenuhan Good Clinical Practice (GCP) menjadi salah satu sorotan dalam laporan yang dipublikasikan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sebagai landasan penolakan terhadap Vaksin Nusantara.
Menurut BPOM, persetujuan Lolos Kaji Etik penelitian tidak dilakukan oleh Komite Etik (KE) tempat dilakukan penelitian. Dikatakan, tidak ada notifikasi dan penyerahan protokol kepada KE di RSUP Dr. Kariadi terkait penelitian ini, sehingga tidak ada kajian dari KE setempat.
"Hal tersebut merupakan hal yang Kritikal karena tugas utama KE adalah mengawasi hak dan keamanan subjek penelitian," tulis BPOM dalam pointers resmi yang dikutip Bisnis.com, Kamis (15/4/2021).
Dalam wawancara BPOM dengan ketua Komite Etik RSUP Dr. Kariadi, disampaikan bahwa Ketua KE melakukan monitoring dengan melihat proses pengambilan informed consent, tetapi tidak melakukan kajian dan pengawasan terhadap keamanan subjek selama penelitian
Selanjutnya, terdapat data-data keamanan yang diganti oleh peneliti dengan menghilangkan data yang lama, sehingga tidak dapat ditelusur keaslian data dan tidak dapat diketahui penyebab perubahan data tersebut.
Inkonsistensi pencatatan data pada dokumen sumber, worksheet, dan case report form terhadap Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang dialami oleh subjek juga terlacak dalam monitoring tersebut sehingga tidak dapat diketahui mana data yang benar.
Baca Juga
BPOM juga melaporkan terdapat subjek yang seharusnya tidak dapat direkrut karena tidak masuk dalam kriteria inklusi (sudah memiliki antibodi), tetapi diikutkan dalam penelitian. Hal tersebut tidak sesuai dengan protokol dan menyebabkan hasil yang tidak valid.
Lebih jauh, Case Report Form (CRF) menggunakan sistem elektronik dengan nama Redcap Cloud yang dikembangkan oleh AIVITA Biomedical Inc. dengan server di Amerika. Keberadaan AIVITA Biomedical Inc. tidak disinggung dalam perjanjian kerjasama yang ada dengan Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan.
"Beberapa tahapan proses pembuatan dan pengujian vaksin sel dendritik dilakukan oleh AIVITA Biomedical Inc., dan dilaksanakan oleh tenaga dari warga negara asing. Terkait dengan hal itu, belum ada kontrak antara Aivita Biomedical dengan RSUP Dr. Kariadi," sebut laporan tersebut.
Adapun, perjanjian kerjasama yang ada antara Badan Litbangkes dengan PT Rama Emeralds tidak menyebutkan apa yang menjadi kewajiban dari Aivita Biomedical Inc. dalam uji klinik vaksin dendritik yang dilakukan di Indonesia dan lingkupnya hanya untuk uji klinik fase II dan fase III.
Dengan perjanjian seperti ini, menurut BPOM, membuat pihak AIVITA Biomedical merasa tidak punya kewajiban untuk bekerja sesuai standar dan peraturan di Indonesia.