Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Budi Hikmat

Chief Economist Bahana TCW

Senior Economist alunus dari Universitas Indonesia

Lihat artikel saya lainnya

Sovereign Wealth Fund: Inisiatif Pengelolaan Asset Untuk Kemakmuran Bangsa

Kebanyakan SWF dimungkinkan oleh surplus neraca berjalan yang mulanya disiapkan untuk mengantisipasi semacam krisis moneter Asia 1998. Namun akselerasi globalisasi yang membuka perluasan diversifikasi penempatan asset memungkinkan pengelolaannya memperkuat pundi-pundi kemakmuran suatu bangsa.
Sebelum ke UEA dan Arab Saudi, Menko Luhut dan Menteri BUMN Erick Thohir juga melakukan kunjungan kerja ke Tokyo, Jepang, untuk meminta dukungan bagi pembentukan SWF Indonesia. /ANTAR
Sebelum ke UEA dan Arab Saudi, Menko Luhut dan Menteri BUMN Erick Thohir juga melakukan kunjungan kerja ke Tokyo, Jepang, untuk meminta dukungan bagi pembentukan SWF Indonesia. /ANTAR

Bisnis.com, JAKARTA -- Kisah Nabi Yusuf yang secara paralel diabadikan melalui Perjanjian Lama dan Al Quran sangat menginspirasi karir saya selama lebih dari 20 tahun melintasi beragam krisis ekonomi dan merancang strategi investasi untuk mengapai kemakmuran.

Sangat bisa jadi kebanyakan masyarakat merujuk Nabi Yusuf baru sebatas sebagai pria tampan tahan godaan yang mampu menerjemahkan mimpi raja yang melihat tujuh sapi kurus memakan tujuh sapi gemuk sebagai pergiliran masa malang dan gemilang. Literatur ilmu ekonomi mengenal fenomena silih berganti ini sebagai business cycle.

Kontribusi Nabi Yusuf yang paling hebat, namun kurang dikaji dan diuji, sebenarnya adalah sarannya kepada raja yang kemudian melantik beliau sebagai pengelola asset negara. Kekaguman terhadap kualifikasi Nabi Yusuf yang menyelamatkan Bangsa Mesir dari bencana kelaparan melandasi keputusan saya menamakan anak bungsu, yang lahir 17 tahun yang lalu, dengan Yusuf.

Selain itu, setelah mengkaji, menguji, menerapkan dan mengajarkan beragam pemikiran perencanaan kemakmuran yang terinspirasi saran Nabi Yusuf mendorong saya -- atas permintaan sejumlah generasi Milenial -- membangun Komunitas Nabi Yusuf. Sejumlah pemikiran dan variasi penerapan Perencanaan Kemakmuran ala Nabi Yusuf dapat dicermati melalui YouTube Channel saya.

Pada dasarnya ada tiga saran Nabi Yusuf yang dimuat dalam QS 12:47 (“Hendaklah kalian bercocok tanam selama tujuh tahun secara berkelanjutan. Maka apa yang kalian panen, tetaplah dalam tangkainya. Kecuali sedikit untuk kalian makan”). Saran ini tidak hanya melandasi konstelasi kebijakan makroekonomi terbaik untuk mengantisipasi krisis namun juga sebagai dasar intertemporal personal investing.

Fokus kebijakan ekonomi bertumpu pada sisi produksi (supply side revolution) terutama melalui penguatan teknologi pertanian guna meningkatkan produktivitas. Kedua, penguasaan teknologi paska panen terutama melalui penguatan industri manufaktur agar limpahan panen dalam kualitas terbaik dapat bertahan lama untuk memenangkan pasar ekspor.

Saran terakhir Nabi Yusuf diatas identik dengan pengendalian konsumsi domestik (demand management) yang memungkinkan limpahan panen dimanfaatkan untuk keberlanjutan produksi selain untuk ekspor. Semestinya penerapan saran Nabi Yusuf memampukan Indonesia untuk mengatasi defisit neraca berjalan yang hakikatnya mencerminkan karakter yang kurang produktif, kurang kompetitif selain mau berhemat.

Dalam kajian keuangan pribadi, masa malang biasanya terjadi ketika seorang memasuki usia pensiun namun yang bersangkutan tidak memiliki sumber cadangan non-labor income yang terutama berasal dari peluruhan asset yang dikembangkan semasa produktif. Lebih muram lagi apabila ketika pensiun masih terbelit utang yang tidak produktif selain bersimbah masalah kesehatan fisikal, emosional dan sosial,

Saya menafsirkan kata tujuh tahun sebagai periode yang lebih lama sehingga QS 12:47 menginspirasi tiga fase investasi dengan urutan growth (terbaik melalui talenta, property dan saham), protection (terutama melalui Surat Berharga Negara) dan distribution (melalui annuitas, structure product dan mekanisme overlapping generation model transfer).

Ada naratif dalam Perjanjian Lama bab Kejadian 41 yang berbeda dibanding Al Quran dimana tujuh sapi kurus yang memakan sapi gemuk keluar dari sungai Nil. Kata “keluar” tidak digunakan dalam Al Quran. Sangat bisa jadi Nabi Yusuf menilai bahwa adalah sungai Nil sebagai penyebab pergiliran masa malang dan gemilang. Sungai Nil yang merupakan perpaduan antara dua aliran white and blue Nile dari Afrika Nabi Yusuf sering berbelok arah. Daerah yang dialiri kerap meluap dan menyebabkan banjir. Sementara yang tidak dialiri menjadi kering kerontang. Untuk itulah Nabi Yusuf membangun kanal dan bendungan untuk pengendalian banjir dan irigasi yang hingga sekarang masih ada di kota Fayyum.

Saya menilai ikhwal negara mengelola berbagai asset sumber daya untuk kemakmuran bangsa senafas dengan terminology modern sovereign wealth fund (SWF) yang sedang digelar oleh pemerintah. SWF dengan asset terbesar diyakini masih dimiliki oleh Saudi Arabia yang berasal dari surplus penerimaan produksi minyak. Negara jiran Singapura punya Tamasek dan Malaysia dengan Khazanah. Pengelolaan SWF Norwegia dikenal transparan dengan menampilkan posisi nilai asset selain bagaimana pengelolaannya.

Memang betul, kebanyakan SWF dimungkinkan oleh surplus neraca berjalan yang mulanya disiapkan untuk mengantisipasi semacam krisis moneter Asia 1998. Namun akselerasi globalisasi yang membuka perluasan diversifikasi penempatan asset memungkinkan pengelolaannya memperkuat pundi-pundi kemakmuran suatu bangsa.

Indonesia yang mengalami deficit neraca berjalan sejak berakhirnya super-cycle commodity booming harus lebih kreatif. Model SWF yang dikembangkan Indonesia melalui pengelolaan asset yang ditempatkan sejumlah mitra menjadi relevan menyikapi perkembangan internal dan eksternal. Secara internal, sesuai dengan laporan Bank Dunia tahun 2014 “Indonesia: Avoiding the Trap”, Indonesia berisiko growing old before growing rich sekira rata-rata pertumbuhan ekonomi dalam periode 2013-2030 berkisar enam persen.

Pemerintah Indonesia telah mengikuti saran Bank Dunia tersebut melalui penguaran infrastruktur dan penguatan sumber daya manusia (closing infrastructure and skill gaps). Namun polemik perang dagang 2019 dan pandemi Covid-19 2020 tidak hanya memperburuk risiko “tuwir sebelum tajir” 2030 saat penduduk kita mulai menua.

Bayangkan dengan PDB per kapita saat ini $4500 per tahun, maka untuk mencapai batas bawah pendapatan negara maju $12.000 dibutuhkan pertumbuhan ekonomi 10,3% dalam US$ selama 10 tahun hingga tahun 2030. Angka ini jelas mustahil diraih dengan berbagai paradigma ekonomi, sosial dan politik saat ini.

Sementara upaya mempercepat penyediaan infrastruktur untuk memacu produktivitas dan daya saing telah memperberat kondisi keuangan perusahaan milik negara (BUMN). Beban negara bakal bertambah apabila BUMN tersebut jatuh bangkrut meninggalkan infrastruktur yang belum membuahkan hasil.

Sejumlah pihak juga mengkritisi lack of integrity, governance and competency factors – yang bila direnungkan seluruhnhya merupakan kualitifikasi Nabi Yusuf -- sebagai penyebab kejatuhan BUMN sehingga menolak ide pembentukan SWF. Pengalaman kami sebagai satu-satunya manajer investasi yang mendapat mandat mengelola dana Asian Bond Fund menunjukkan manfaat dimana supervisi konsorsium bank sentral sekawasan Asia (EMEAP) sebagai “pihak asing” membantu meningkatkan kualitas dan kinerja pengelolaan. Saya sangat mengharapkan ada semacam pertemuan terbuka dimana para ahli dapat bertemu dan berdiskusi secara kritis untuk mengawal pembentukan dan pengelolaan SWF ini.

Sementara secara eksternal, dunia paska pandemic Covid-19 dibanjiri oleh limpahan likuiditas yang luar biasa. Kelebihan likuiditas yang tercermin pada rendahnya suku bunga diyakini akan memicu asset reflation melalui pelemahan dollar. Konflik geo-politik dan antisipasi berulangnya pandemic memicu perubahan strategi bisnis dan jalur pasokan (supply chain). Indonesia yang memiliki growing middle class dan sumber daya alam yang melimpah dipandang memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari system supply chain baru.

Persaingan global yang semakin sengit membuat upaya menarik investor asing semakin berat. Kita dapat belajar dari pengalaman Vietnam yang kini menikmati surplus perdagangan terhadap Amerika Serikat sekitar lima kali lipat lebih besar dibanding Indonesia dan bertumbuh jauh lebih pesat menyusul polemil perang dagang. Dengan surplus neraca berjalan 5% PDB, rasio dana pihak ketiga terhadap PDB di Vietnam terus melonjak hingga melewati Malaysia. Limpahan dana tersebut memungkinkan suku bunga yang lebih rendah untuk memacu pembiayaan bisnis agar derap perekonomian dan kemakmuran lebih gegas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Budi Hikmat
Editor : Lukas Hendra TM
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper