Bisnis.com, JAKARTA -- Menteri Ketenagakerjaan menerbitkan surat edaran (SE) Nomor M/11/HK.04/2020 terkait dengan upah minimum 2021. Esensi penting dari surat edaran itu adalah penyesuaian penetapan nilai upah minimum 2021 sama dengan nilai upah minimum 2020.
Sebenarnya ketentuan tentang upah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Di dalamnya, formula kenaikan upah adalah pertumbuhan ekonomi ditambah dengan inflasi. Mengingat tahun ini terjadi resesi dan pertumbuhan ekonomi minus akibat pandemi, maka jika digunakan formula dalam aturan itu akan terjadi penurunan upah minimum (upah minimum 2021 akan lebih kecil daripada 2020).
Idealnya kebijakan pengupahan mengikuti perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL) dari pekerja. Persoalannya saat ini pertumbuhan ekonomi yang menjadi komponen kenaikan upah berbanding terbalik dengan kondisi KHL. Gitosudarmo (2002) memberikan definisi upah sebagai imbalan yang diberikan oleh pemberi kerja kepada penerima kerja secara rutin dan tetap tiap bulannya.
Pendapat ini tercantum dalam naskah akademik UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadi dasar dari PP No. 78. Dalam situasi saat ini, KHL cenderung sama maupun naik, sementara pertumbuhan ekonomi sudah minus.
Dapat dipahami jika Menteri Ketenagakerjaan menerbitkan SE Nomor M/11/HK.04/2020 untuk menjembatani situasi tidak dapat diterapkannya formula kenaikan upah sesuai PP No. 78. Dapat dikatakan SE No. M/11/HK.04/2020 merupakan formula jalan tengah tetapi keputusan untuk menyesuaikan upah 2020 dan 2021 dalam perspektif hukum dan hubungan industrial sangat rawan dan mengandung persoalan serius.
Setidaknya ada dua persoalan utama atas berlakunya SE No. M/11/HK.04/2020. Pertama, persoalan hukum terkait dengan formalitas regulasi penyesuaian upah melalui surat edaran. Kedua, persoalan substansi, yakni menyangkut kebijakan pengupahan yang tidak berubah dari 2020 ke 2021, sehingga berdampak bagi pengusaha maupun pekerja. Dengan penetapan nilai upah minimum yang sama belum tentu tidak menimbulkan persoalan hubungan industrial mengingat kondisi perekonomian dalam masa resesi, tetapi KHL tidak berkurang.
Persoalan pertama adalah terkait dengan aspek formal dari regulasi penyesuaian upah melalui SE No. M/11/HK.04/2020. Jika mengacu pada UU No. 15/2019 tentang Perubahan atas UU No. 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak dikenal produk hukum surat edaran. Hadjon (1996) mendefinisikan surat edaran hanyalah surat koordinasi antarinstansi pemerintah dan tidak memiliki kekuatan mengikat seperti peraturan perundangan.
Artinya, surat edaran itu tidak dapat secara serta-merta mengesampingkan PP No. 78/2015. Selanjutnya, jika SE No. M/11/HK.04/2020 dijadikan dasar oleh para kepala daerah dalam menyusun keputusan upah 2021, kebijakan tersebut akan keliru dan bertentangan dengan norma dalam PP No. 78/2015 yang masih berlaku dan kini hal itu terbukti dengan adanya gugatan kepada sejumlah kepala daerah.
Kondisi ini akan rawan menimbulkan perselisihan hubungan industrial, baik dari sisi pekerja maupun pengusaha. Seharusnya pemerintah memanfaatkan momentum terbitnya UU No. 2/2020 dan Keputusan Presiden No. 12/2020 untuk merevisi PP No. 78/2015.
Memang sudah sejak lama, baik kalangan pekerja maupun pengusaha menyerukan revisi PP No. 78/2015. Dengan adanya momentum itu, revisi terhadap aturan tersebut dapat mengakomodasi substansi pengupahan pascapandemi Covid-19 dan juga dapat menyempurnakan substansi pengupahan lainnya dalam PP No. 78/2015.
Persoalan kedua terkait dengan substansi pengupahan yang menyamakan antara upah 2020 dan 2021. Jika mengacu pada penjelasan Pasal 44 ayat (2) PP No. 78/2015, formulasi kenaikan upah dimaksudkan untuk menyesuaikan antara pendapatan pekerja dan KHL yang ditetapkan. Demikian juga dalam Pasal 88 UU Cipta Kerja, juga menegaskan kembali ketentuan itu. Dalam hal ini, akan sangat rawan perselisihan jika menetapkan penyamaan upah (2020 dan 2021) tanpa didahului penetapan KHL.
Seharusnya pemerintah lebih dahulu menetapkan KHL dan selanjutnya menggunakannya sebagai dasar penetapan upah minimum. Revisi PP No. 78 harus mengubah ketentuan Pasal 44 di dalamnya dengan menambahkan frasa kata ‘atau sekurang-kurangnya berdasarkan angka KHL tahun yang bersangkutan’.
Jika persoalannya adalah kemampuan pengusaha yang menurun dalam pembayaran upah dan guna menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai dampak Covid-19, maka jika upah ditentukan berdasarkan KHL, diperlukan subsidi dari pemerintah. Artinya, dalam hal ini, kewajiban pengusaha adalah membayar upah yang sama besarannya dengan tahun lalu.
Alhasil, jika terdapat selisih antara KHL dan besaran upah tahun lalu akan diberikan subsidi oleh pemerintah bagi perusahaan yang terdampak Covid-19. Dengan demikian, akan tercapai win-win solution baik bagi pemerintah, pengusaha, maupun pekerja.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat, (13/11/2020)