Bisnis.com, JAKARTA -- Perubahan besar peradaban dunia dimulai dari revolusi industri pada 1760 dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Sementara itu, pada era sekarang ‘revolusi informasi’ sedang membawa peradaban dunia pada sebuah lompatan eksponensial. Globalisasi menjadi sebuah keniscayaan, digitalisasi telah memberi dampak pada hampir semua sektor kehidupan manusia, baik ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan termasuk soal ketahanan pangan.
Disrupsi semacam inilah yang diharapkan Presiden Joko Widodo bisa terjadi pada sektor pertanian dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan. Dalam sambutannya di depan Forum Petani Muda Organik, Presiden berharap agar para milenial semakin melek digital dan teknologi, sehingga mampu membawa beragam bentuk inovasi ke dalam industri yang selama ini dianggap tertinggal, yakni industri pertanian. Presiden berharap agar milenial tidak lagi malu dan gengsi untuk menjadi petani. Tujuannya satu, menuju ketahanan pangan Indonesia.
Harapan tersebut jelas perlu diwujudkan, terlebih lagi melihat partisipasi milenial yang masih minim di industri pertanian. Berdasarkan data BPS 2019, jumlah angkatan kerja 133,56 juta orang di mana 27,33% (36,5 juta orang) bekerja di sektor pertanian. Namun hanya ada sekitar 8% atau 2,9 juta milenial yang terjun menekuni industri ini. Hal ini mengindikasikan bahwa regenerasi di sektor pertanian dapat menjadi batu sandungan bagi industri ini di masa depan. Kaum milenial di desa lebih memilih menjadi buruh pabrik ketimbang meneruskan profesi orang tua mereka sebagai petani.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden sudah menegaskan pentingnya ketahanan pangan. Salah satunya dengan menyiapkan food estate di Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah. Dalam pandangan penulis, konsep ketahanan pangan tidak hanya bicara tentang ketersediaan pangan hari ini tetapi lebih dari itu adalah tentang bagaimana mencetak generasi yang lebih baik ke depannya dengan kecukupan makanan yang lebih sehat dan bergizi, generasi yang lebih baik karena anak mudanya ikut ambil peran, dan generasi yang lebih baik, karena kesejahteraan masyarakatnya ikut meningkat.
Gagasan melibatkan milenial dalam industri primer dan penting ini harus diikuti dengan gagasan inovasi yang relevan dan dapat diaplikasikan, sehingga milenial tertarik berpartisipasi dalam meningkatkan ketahanan pangan serta ikut memajukan industri pertanian Indonesia.
Milenial harus dirangsang agar mereka punya ekosistem yang nyaman untuk berinovasi, baik dari segi teknis produksi pra-panen hingga usai panen. Dari data yang ada menunjukkan bahwa sampai saat ini dari 2,200 startup di Indonesia, hanya ada 1% startup yang terlibat di industri pertanian. Itupun sebagian startup pertanian yang sudah besar terfokus pada bidang pembiayaan (fintech) dan marketplace, bukan pada inovasi lainnya seperti teknis produksi pertanian.
Diperlukan pula inovasi dalam hal intensifikasi pertanian yaitu bagaimana memanfaatkan keterbatasan lahan yang ada untuk menghasilkan output yang optimal. Salah satunya menggunakan metode polikultur dengan multikomoditas. Dengan pendekatan kekinian seperti ini, kita dapat mengubah mindset milenial bahwa dunia pertanian sama menariknya dengan sektor lain yang berbasis digital dan teknologi.
Melihat nature dari milenial yang memiliki tingkat kreativitas yang tinggi, bukan tidak mungkin sektor pertanian ini mampu berkolaborasi secara mudah dengan sektor industri lain seperti industri kreatif, pariwisata, dan UMKM.
Menyadari bahwa inovasi menjadi detak jantung yang akan membawa industri ini berkembang, saat ini penulis sedang mengembangkan metode yang kami sebut aquagriculture yang mengombinasikan multikomoditas dalam satu ekosistem. Aquagriculture menjadi revolusi dalam sektor pertanian karena memproduksi pangan tanpa merusak lingkungan. Metode ini mencakup freshwater aquagriculture (air tawar), brakishwater aquagriculture (air payau) dan marine aquagriculture (air laut).
Aquagriculture kami anggap bisa menjadi quantum leap menuju ketahanan pangan nasional. Sistem ini pun menggunakan konsep yang ramah lingkungan dengan tidak menggunakan bahan kimia sintetis, pestisida, dan penggunaan air yang minim dengan sistim resirkulasi. Inovasi dalam industri pertanian seperti ini ke depannya berpotensi untuk diduplikasi dan diperbanyak jumlahnya agar bisa menjadi industrial food estate yang bisa memproduksi pangan secara masif.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis, (12/11/2020)