Bisnis.com, JAKARTA - Utilitas pabrikan alas kaki diperkirakan kembali merosot pada akhir bulan ini. Hal tersebut disebabkan mulai berhentinya pabrikan alas kaki berorientasi ekspor.
Asosiasi Persepatuan Indonesia (Asprisindo) mendata utilitas pabrikan pada awal kuartal II/2020 berada di posisi 40 persen. Adapun, angka tersebut masih berada di atas rata-rata utilitas pabrikan industri padat karya karena komitmen ekspor hingga akhir April 2020.
"Mulai Mei ini kondisi kami hampor sama dengan sektor [industri padat karya] yang lain. Mei ini sampai ke depan belum ada kepastian seberapa besar demand ekspor kami," jelas DIrektur Eksekutif Asprisindo Firman Bakrie kepada Bisnis, Kamis (28/5/2020).
Firman menyatakan utilitas pabrikan alas kaki berorientasi ekspor dapat turun ke bawah 50 persen dari posisi 70 persen pada April 2020. Dengan demikian, lanjutnya, utilitas industri alas kaki secara konsolidasi dapat turun ke bawah level 30 persen pada akhir Mei 2020.
Adapun, Firman mencatat sebagian besar pabrikan telah mengurangi tenaga kerja di pabrika dengan cara perumahan tenaga kerja maupun pemutusan hubungan kerja. Menurutnya, hingga saat ini jumlah pengurangna tenaga kerja di pabrikan telah mencapai 400.000 orang.
Sementara itu, Firman menilai pelonggaran protokol pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak akan langsung membuat pabrikan alas kaki kembali berproduksi. Pasalnya, lanjutnya, saat ini gudang-gudang industri maupun gudang peritel masih dipenuhi stok pasar lebaran.
Menurutnya, pabrikan alas kaki akan mulai bergerak paling cepat sekitar 2-3 bulan setelah protokol PSBB dilonggarkan. "[Namun demikian,] saya khawatir stok untuk pasar 'masuk sekolah' sudah diproduksi awal tahun ini. Kalau tidak diproduksi, kami maish bisa selamat."
Di sisi lain, Firman mendata volume produksi untuk pasar domestik jauh lebih banyak dibandingkan pabrikan berorientasi ekspor. AKan tetapi, produk berorientasi ekspor masih mendominasi secara nilai.
Seperti diketahui, pandemi Covid-19 tidak hanya menyebabkan guncangan pada sisi permintaan industri alas kaki, tapi juga pada sisi pasokan bahan baku. Firman menyampaikan sebagian besar pabrikan alas kaki berorientasi domestik masih menggunakan bahan baku impor.
Dia menjelaskan hal tersebut disebabkan oleh persyaratan pembelian oleh industri tekstil nasional. Menurutnya, pabrikan sepatu hanya membutuhkan kain sebanyak 200 yard untuk satu kali pemesanan, sedangkan pabrikan mensyaratkan jumlah per pembelian sebanyak 1.000 yard.
"[Industri alas kaki] termasuk industri fashion yang menjadi bagian produk fast moving consumer goods yang 3-6 bulan tidak laku harus dibuang ke pasar lain," ucapnya.
Selain itu, Firman berujar harga bahan baku yang didapat di dalam negeri maupun vietnam lebih tinggi sekitar 20--30 persen.