Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikan jumlah pemirsa televisi akibat bertambahnya aktivitas masyarakat di rumah diyakini turut mengubah perilaku pengiklan di televisi free to air (FTA TV) dan platform digital.
Berdasarkan data Nielsen Television Audience Measurement (TAM) per 23 Maret 2020, hasil pantauan di 11 kota menunjukkan rata-rata kepemirsaan TV mulai meningkat dalam seminggu terakhir.
“Dari rata-rata rating 12 persen di tanggal 11 Maret menjadi 13,8 persen di tanggal 18 Maret atau setara dengan penambahan sekitar 1 juta pemirsa TV,” demikian tertulis dalam keterangan Nielsen yang dikutip Bisnis, Kamis (26/3/2020)
Di sisi lain, Nielsen juga mencatat lonjakan durasi menonton lonjakan lebih dari 40 menit, dari rata-rata 4 jam 48 menit di tanggal 11 Maret menjadi 5 jam 29 menit di tanggal 18 Maret.
Dari jumlah tersebut, penonton dari kelas atas (upper class) menunjukkan kecenderungan lebih lama menonton televisi sejak 14 Maret dan jumlahnya juga terus meningkat. Terlihat dari rata-rata rating 11,2 persen pada 11 Maret menjadi 13,7 persen pada 18 Maret.
Investor Relation MNC Group Luthan Fadel Putra mengatakan lonjakan penonton televisi tersebut membuat perilaku pengiklan berubah, sejalan pula dengan berubahnya aktivitas masyarakat yang melakukan bekerja dan belajar dari rumah.
Baca Juga
“Untuk advertiser, banyak yang ganti strategi, semua campaign off air di-cancel dan dipindah ke TV dan digital terutama free streaming service, karena semua orang di rumah [anak sekolah dan pekerja kantoran],” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (26/3/2020).
Perubahan ini, kata Luthan, turut menguntungkan MNC Group. Meski tak menyebut angka pasti, perusahaan berkode emiten MNCN ini disebut mengalami peningkatan iklan utamanya dari perusahaan-perusahaan barang fast moving consumer goods, farmasi, dan e-commerce.
“Jumlah penonton TV meningkat dan juga rata-rata durasi nonton per penonton, makanya banyak pengiklan yang ningkatin iklan di TV,” tambahnya.
Sebelumnya, Analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya memprediksi wabah corona atau Covid-19 dan pelemahan rupiah akan menggerus pendapatan MNCN pada kuartal pertama 2020.
Christine menyebut ada tiga faktor utama yang membuat MNCN berpotensi kehilangan pendapatan. Pertama, dirinya memandang kenaikan tarif iklan yang akan diberlakukan MNC hanya akan berkontribusi tipis pada pendapatan perseroan.
Kedua, merebaknya wabah corona dinilai akan menghambat pertumbuhan iklan televisi. Sebab seperti diketahui, kepanikan warga karena wabah membuat konsumsi terhadap beberapa produk terutama barang konsumer meningkat drastis.
“Masyarakat Indonesia sudah memborong produk-produk pokok, jadi tampaknya perusahaan FMCG [fast moving consumer goods] tidak akan menambah porsi iklan mereka di tv,” katanya dalam riset yang dipublikasikan beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, meski sektor consumer diprediksi masih akan moncer pada periode ini, tapi perlambatan ekonomi akan memaksa sebagian dari mereka untuk melakukan efisiensi anggaran.
Christine menyebut kemungkinan besar perusahaan-perusahaan yang biasanya beriklan di televisi akan memangkas bujet promosi mereka dan fokus pada alokasi anggaran rutin seperti gaji karyawan dan biaya operasional gedung.
Ketiga, MNCN berpotensi bakal menanggung rugi akibat selisih nilai tukar valas. Pasalnya, perseroan tercatat memiliki utang jangka kepada bank sindikasi dengan denominasi dolar AS sebesar US$221,2 juta hingga Q1/2020.
“Saat ini kita tahu rupiah sedang terdepresiasi terhadap dolar AS, sehingga ini bakal berdampak ke bottom line MNCN,” tambah Christine.
Dia memproyeksikan setidaknya MNCN akan membukukan kerugian Rp150—200 miliar pada kuartal pertama ini akibat melemahnya nilai tukar.