Bisnis.com, JAKARTA - Terperosoknya harga minyak diproyeksikan berdampak terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor minyak dan gas bumi.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menjelaskan bahwa untuk sektor hulu migas akan sangat terpukul dengan kondisi terperosoknya harga minyak dunia.
Menurut Mamit, dengan harga $32 - $35 per barel ini sangat berat bagi sektor hulu. Padahal, sektor hulu salah satu penyumbang terbesar untuk PNBP dalam APBN Indonesia yang pada 2019 realisasinya mencapai Rp115,1 triliun.
"Target 2020 sebesar Rp127,3 triliun sepertinya akan sulit tercapai dengan kondisi harga minyak begitu rendah untuk jangka waktu yang lama," katanya kepada Bisnis, Senin (9/3/2020).
Dia menambahkan,dengan kondisi tersebut, risiko lain yang akan terjadi adalah berdampak ke target lifting migas yang ditetapkan dalam APBN 755.000 barel per hari (bph) yang dinilai akan sulit tercapai.
Penurunan harga minyak akan membuat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) menahan produksinya karena secara keekonomian bisa dibilang kurang ekonomis.
"Apalagi banyak lapangan migas kita yang mature sehingga dibutuhkan biaya maintenace menjaga produksi butuh biaya yang tidak sedikit," jelasnya.
Di samping itu, kondisi ini bisa berdampak kepada aktivitas investasi KKKS. Pasalnya, dengan harga minyak saat ini, para KKKS akan lebih mempertimbangkan nilai keekonomian.
Jika kondisi tersebut berlangsung lama, maka diprediksi akan mempengaruhi perlambatan pertumbuhan kinerja pada industri migas dalam negeri.
"Harga minyak akan rebound jika Arab Saudi dan Rusia melepaskan ego untuk menaikan produksi mereka. Begitu Amerika akan mengurangi produksi shale oil mereka. Ditambah,ekonomi dunia akan kembali tumbuh pasca virus corona ini," pungkasnya.