Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IRR Rendah, Gasifikasi Tanjung Enim Mundur ke 2023

Proyek tersebut memiliki empat anggota konsorsium yakni PT Bukit Asam Tbk., PT Pupuk Indonesia, PT Chandra Asri Petrochemichal Tbk., dan PT Pertamina.
ilustrasi/Bisnis.com
ilustrasi/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA – Proyek gasifikasi batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan diperkirakan akan mundur hingga 2023 karena rendahnya investment return rate (IRR) salah satu anggota konsorsium proyek tersebut.

Proyek tersebut memiliki empat anggota konsorsium yakni PT Bukit Asam Tbk., PT Pupuk Indonesia, PT Chandra Asri Petrochemichal Tbk., dan PT Pertamina. Proyek gasifikasi tersebut akan mengubah 5 juta ton batu bara yang dipasok Bukit Asam menjadi synthetic gas (Syngas), dan syngas menjadi amonia dan methanol.

Setelah itu, pabrikan akan mengubah syngas menjadi amonia dan methanol. Pada tahap akhirnya, pabrikan tersebut akan memproduksi 570.000 ton urea, 400.000 ton DME (dimethyil ether), dan 450.000 ton Polipropilena (PP) yang diserap tiga anggota konsorsium lainnya.

Direktur Pengembangan Bisnis Asosiasi Produsen Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Budi Susanto Sadiman mengatakan proyek tersebut seharusnya sudah dimulai padat tahun ini dan beroperasi pada 2022. Namun demikian, lanjutnya, proyek tersebut akan mulai beroperasi pada 2023 karena minimnya angka pengembalian investasi salah satu anggota konsorsium.

Budi menyatakan rendahnya IRR tersebut disebabkan oleh tingginya harga mesin yang digunakan yakni sekitar US$4,5 miliar--US$5 miliar.

"Masing-masing [anggota konsorsium] investasinya tidak sama untuk proses setelah methanol, tapi harga methanolnya tergangung kepada proses gasifikasinya. [IRR] diharapkan lebih dari 12%, sekarang di bawah 12%," katanya kepada Bisnis, Senin (13/1/2020).

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menetapkan percepatan gasifikasi di Tanjung Enim sebagai salah satu quick win kementerian pada tahun ini. Adapun, tujuan dari proyek tersebut adalah penghematan devisa dari impor liquid petroleum gas (LPG) sekitar Rp9 triliun.

"Perkembangan terakhir masih menunggu harga DME dari Pertamina. Plastik sudah oke. Pupuk masih terganjal cost distribusinya yang panjang dari Tanjung Enim ke pelabuhan," ujar Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin Fridy Juwono kepada Bisnis belum lama ini.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin Muhammad Khayam mengatakan studi kelayakan proyek gasifikasi tersebut kini tertahan perhitungan skala keekonomian. Menurutnya, studi tersebut akan dijadikan sebagai bahan rujukan sektor perbankan dalam mengucurkan kredit.

“Masalah bankable saja ini. Mungkin ini rampung dalam waktu dekat. Kan studinya sudah cukup,” katanya kepada Bisnis.

Menurutnya, pengenaan royalti pada penjualan batu bara juga menjadi faktor penahan skala keekonomian proyek tersebut. Menurutnya, penghapusan royalti tersebut akan membuat skala keekonomian proyek gasifikasi tersebut tercukupi.

Jika royalti pada batu bara yang digasifikasi tidak ada, Khayam menghitung gas yang dihasilkan dapat dijual senilai US$6 pe MMBTU. “Sebenarnya kami masih mau turun lagi.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Andi M. Arief
Editor : Galih Kurniawan

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper