Bisnis.com, JAKARTA – Korea Selatan mencatat inflasi untuk pertama kalinya dalam empat bulan terakhir pada bulan November 2019, meskipun masih di bawah ekspektasi.
Berdasarkan data kantor statistik Korsel yang dirilis Senin (2/12/2019), indeks harga konsumen naik 0,2 persen pada bulan November dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Angka ini masih lebih rendah dari estimasi ekonom yang memperkirakan kenaikan kenaikan 0,7 persen, setelah pada bulan Oktober mencapai 0 persen dan melemah pada bulan September.
Bank of Korea (BOK) mempertahankan suku bunga pada 1,25 persen pada hari Jumat (29/11) dan memperkirakan pertumbuha nekonomi akan mencapai 2 persen tahun ini, laju paling lambat sejak krisis keuangan global.
Selain itu, bank sentral Korea Selatan ini memperkirakan inflasi pada 0,4 persen, jauh di bawah target 2 persen.
Inflasi di bawah nol pada bulan September telah menimbulkan kekhawatiran atas risiko deflasi. Pejabat Korea Selatan menepis dengan mengatakan kekhawatiran itu berlebihan karena harga pangan yang lebih tinggi dari biasanya tahun lalu. BOK memperkirakan inflasi naik menjadi 1 persen pada tahun 2020.
Data terbaru dari Korea Selatan beragam. Indeks epercayaan konsumen meningkat untuk bulan ketiga pada November, naik di atas 100 untuk pertama kalinya sejak April, sementara produksi industri turun lebih dari yang diharapkan pada Oktober dari bulan sebelumnya.
"Rebound teknis dalam IHK tidak berarti perubahan yang berarti dalam tren harga yang mendasarinya," kata Ma Tieying, ekonom DBS Bank sebelum rilis data inflasi, seperti dikutip Bloomberg.
Kekuatan disinflasi masih tampak utuh untuk saat ini, mengingat penurunan harga produsen dan kesenjangan output negatif, tambahnya.
Populasi penduduk Korea Selatan yang menua dan potensi pertumbuhan yang menurun adalah dua tantangan yang meningkatkan risiko deflasi struktural dalam jangka panjang.
“Kami memperkirakan inflasi akan berkisar sekitar 0 persen untuk beberapa bulan ke depan, kemudian naik kembali ke 1 persen di tahun mendatang. Tekanan harga yang lemah menggarisbawahi kelesuan dalam perekonomian,” ungkap ekonom Bloomberg, Justin Jimenez.