Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dinilai Tak Optimal, Apa yang Salah dengan Strategi Pariwisata Indonesia?

Strategi Indonesia dalam mengembangkan sektor pariwisata dinilai belum maksimal. Alhasil sejumlah strategi tambahan pun dibutuhkan untuk memaksimalkan sektor tersebut.
Bus turis mempromosikan Wonderful Indonesia/Antara
Bus turis mempromosikan Wonderful Indonesia/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Strategi Indonesia dalam mengembangkan sektor pariwisata dinilai belum maksimal. Alhasil sejumlah strategi tambahan pun dibutuhkan untuk memaksimalkan sektor tersebut.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia  (PHRI) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan dinonaktifkannya Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) oleh pemerintah, menjadi salah satu penyebab sulitnya Indonesia mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara. Untuk itu dia meminta agar lembaga tersebut kembali dibentuk oleh pemerintah.

“Kami menyadari kami turut berperan serta mengizinkan BPPI dinonaktifkan beberapa waktu lalu. Rupanya, dampak dari dinonaktifkannya badan tersebut sangat signifikan. Kami kehilangan jalur untuk melakukan penjualan produk pariwisata Indonesia di luar negeri,” katanya, Kamis (21/11/2019).

Dia mengatakan saat ini proses pemasaran pariwisata Indonesia di luar negeri lebih didominasi oleh promosi (branding) yang berbentuk Visit Wonderful Indonesia.   Sementara itu, kebijakan penjualan (selling) paket pariwisata justru terbatas.

Menurutnya, ketika BPPI hadir, proses penjualan produk pariwisata di Indonesia lebih mudah dilakukan. Pasalnya, badan tersebut selama ini menjadi jembatan dan memfasilitasi proses penjualan paket wisata RI dalam tiap misi dagang pariwisata di luar negeri.

“Jadi selama ini banyak wisman di luar negeri yang hanya mengetahui promosi Visit Wonderful Indonesia. Namun ketika mereka ingin mencari atau membeli paket wisata di Indonesia, mereka kesulitan. Tentu hal ini pada akhirnya berdampak pada tingkat kunjungan wisman ke Indonesia,” jelasnya.

BPPI lanjutnya, merupakan bentuk kolaborasi paling efektif antara pemerintah dan pelaku usaha pariwisata RI untuk mempromosikan dan menjual wisata di Indonesia. Dengan adanya BPPI, pelaku usaha akan berperan dalam menyediakan ide program penjualan dan promosi pariwisata, sementara pemerintah menyokong dari segi anggaran.  

“Daripada anggaran pariwisata lebih banyak digunakan untuk forum group discussion atau rapat-rapat saja, mendingan dialihkan untuk BPPI yang jelas memiliki manfaat lebih besar bagi pariwisata kita,” katanya.

Selain itu, Hariyadi mengatakan PHRI juga akan mengusulkan  agar fasilitas bebas visa dari 169 ditinjau ulang efektivitasnya. Menurutnya, pemerintah perlu mengkaji tambahan insentif berupa penambahan waktu izin tinggal yang dibebaskan visanya bagi wisman dari 169 negara tersebut.

Dia mengatakan insentif khusus tersebut dapat diberikan kepada wisman berstatus pensiunan dari beberapa negara. Insentif tersebut salah satunya berupa penambahan izin lama waktu tinggal di Indonesia.

“Pensiunan dari Eropa dan Jepang kami rasa perlu diberikan insentif khusus seperti pemberian izin tinggal  hingga enam bulan di Indonesia. Sebab jumlah kelompok masyarakat tersebut di kedua negara saat ini cukup besar. Daya belinya pun tinggi,” katanya.

Menurutnya, Indonesia tertinggal dari Thailand dalam mengadopsi strategi pariwisata tersebut. Hal itu menjadi salah satu penyebab tingkat kunjungan wisman Indonesia tertinggal dari Negeri Gajah Putih.

Di samping memperkuat insentif untuk pariwisata dalam negeri,  dia juga menyoroti kurang optimalnya langkah pemerintah untuk mendorong dan memberikan insentif agar restoran asal Indonesia berekspansi di luar negeri. Padahal, menurutnya, kehadiran restoran RI di luar negeri merupakan salah satu bentuk promosi pariwisata Indonesia.

“Sejumlah usulan tersebut akan kami bahas dalam Musyawaran Nasional PHRI pada 8-10 Februari 2020. Kami ingin melakukan pembahasan yang mendetail supaya bisa menjadi bahan bagi pemerintah untuk memperkuat strategi pariwisata kita,” katanya.

Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Elly Hutabarat mengakui BPPI perlu diaktifkan kembali. Selama ini, menurutnya beberapa negara yang mengandalkan pariwisata sebagai salah satu ujung tombak perekonomiannya, memiliki badan khusus untuk promosi dan penjualan paket wisata di dalam negerinya.

“Di Indonesia BPPI justru dihapuskan. Kebijakan ini berlawanan dengan berbagai negara lain yang justru memperkuat badan promosi pariwisatan yang merupakan kolaborasi swasta dan pemerintah,” ujarnya.

Di samping itu dia juga mendukung langkah PHRI yang meminta pemerintah menambah izin tinggal bagi pensiunan dari sejumlah negara. Menurutnya, pasar kelompok wisman tersebut sangat besar di beberapa negara.

Menurutnya, negara seperti Jepang, Australia, Amerika Serikat dan kawasan Eropa menjadi asal wisman pensiunan yang paling banyak jumlahnya. Pasalnya negara-negara tersebut memiliki kelompok masyarakat dari kalangan baby boomers yang sangat besar.

“Bahkan kami sudah usulkan kebijakan itu sejak 20 tahun lalu, namun tidak direspons dengan baik oleh pemerintah. Menurut perhitungan kami, apabila ada penambahan izin masa tinggal kepada kelompok wisman itu, setidaknya jumlah wisman per tahunnya bisa bertambah hingga 500.000 orang,” katanya.

Ketua Umum Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Rusmiati mengatakan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menggaet wisman dari kelompok masyarakat pensiunan. Hal itu salah satunya didukung oleh ketersediaan jumlah pekerja di sektor perawat lansia di Indonesia.

“Iklim di Indonesia yang relatif hangat ini disukai wisman dari negara-negara Barat. Mereka tentu akan sangat senang tinggal dan membelanjakan uangnya dalam jumlah besar di Indonesia jika waktu tinggal mereka di Indonesia bisa lebih panjang. Kami juga punya peluang baru untuk menjual paket perjalanan di luar negeri,” katanya.

Sementara itu, ketika dikonfirmasi oleh Bisnis.com, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata Guntur Sakti belum memberikan respons mengenai usulan dari pelaku usaha sektor pariwisata tersebut.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper