Bisnis.com, JAKARTA – Potensi penurunan produksi karet nasional sebesar 15% diperkirakan masih bakal berlanjut kendati harga komoditas tersebut mencatat rekor kenaikan harga mingguan enam kali berturut-turut sejak 2015.
Bagi kalangan petani dalam negeri, kenaikan harga tersebut dinilai belum cukup untuk mengembalikan gairah untuk memanen getah karet.
“Harga di kisaran Rp6.000–Rp7.000 per kilogram, tapi ini kenaikannya belum signifikan,” kata Ketua Asosiasi Petani Karet Indonesia (Apkarindo) Lukman Zakaria ketika dihubungi Bisnis, Minggu (17/11/2019).
Dia mengungkapkan banyak petani yang enggan melakukan penyadapan ketika musim panen. Kebun-kebun karet pun dibiarkan terbakar ketika kemarau lalu dan dialihfungsikan menjadi kebun sawit.
“Lebih dari 30% sudah beralih ke sawit. Ketika kemarau kemarin banyak yang dibiarkan terbakar. Ada yang sengaja ditebangi untuk ditanami sawit,” tuturnya.
Menurutnya, harga internasional yang merangkak naik tak terlalu banyak memengaruhi pendapatan petani. Harga di level petani cenderung bertahan ketika pasar mulai bereaksi, namun cepat turun ketika koreksi harga global tengah terjadi.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo menyatakan keprihatinan atas kondisi pasar yang dinilainya tak memberi reaksi sesuai kondisi di lapangan. Hal ini tecermin dari harga karet yang belum sesuai harapan, bahkan ketika Indonesia mengumumkan potensi penurunan produksi sebanyak 15% atau sekitar 540.000 ton akibat wabah jamur yang menyerang sekitar 382.000 hektare (ha) area perkebunan karet
“Petani sudah merasakan kondisi yang mengenaskan dengan kebun yang produksinya turun 15% dan tidak mendapatkan harga yang lebih baik dari pasar internasional,” tutur Moenardji.