Bisnis.com, JAKARTA — Investasi pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap saat ini sudah semakin kompetitif dengan harga yang turun drastis dibandingkan dengan 10 tahun lalu.
Ketua Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia (Maskeei) Soedjono Respati mengatakan 10 tahun lalu, pemasangan 1 watt solar cell bernilai US$3 sampai US$4, sedangkan saat ini harga satu watt telah mencapai US$30 sen hingga US$40 sen.
Menurutnya, harga listrik yang diproduksi dari energi fosil, khususnya batu bara, memang masih lebih murah. Namun, harga listrik PLTS bisa terus ditekan lagi apabila carbon tax diterapkan pada pembangkit berbahan bakar fosil.
Jika ditotal, rata-rata satu rumah tangga skala menengah ke atas memasang PLTS atap berkapasitas 2 kilowatt peak (kWp). Setidaknya 1 kWp bisa menghasilkan 4 kWh listrik.
Investasi yang diperlukan untuk memasang 1 kWp PLTS atap saat ini berada pada kisaran Rp20 juta. Artinya, untuk memasang 2 kWp, investasi yang diperlukan hanya sekitar Rp40 juta dengan masa penggunaan PLTS atap mencapai 25 tahun.
"Kita harus rasionalisasi dulu [menghitung kebutuhan] baru menghitung kapasitas PLTS yang dipasang. Selama ini, listrik kan disediakan PLN yang sudah dijual dalam bagian-bagian," katanya, Selasa (8/10/2019).
Menurutnya, Indonesia harus bisa mencontoh Swedia yang mampu mengembangkan PLTS atap meskipun capacity factor sinar matahari yang didapat tidak besar. Indonesia yang kaya paparan sinar matahari dinilai perlu mengembangkan teknologi pembangkitan tersebut.
Apalagi, matahari merupakan energi yang tidak diskriminatif karena bisa dirasakan di setiap wilayah Indonesia. Berbeda dengan panas bumi atau air yang pembangkitannya harus dibangun di lokasi tempat sumber energi berada.
"Solar panel tidak diskriminatif, dan bisa di mana saja dan harus dimanfaatkan," katanya.