Bisnis.com, JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan akan kembali mengusahakan pelarangan transaksi uang tunai di atas Rp 100 juta menjadi Undang-Undang.
Peraturan tersebut akan disiapkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
Hal tersebut diungkapkan Ketua PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin saat ditemui di Pusdiklat APUPPT, Depok, Jawa Barat, Kamis (12/9/2019) sore.
Menurut Kiagus, wacana pembahasan RUU sebenarnya sudah dilakukan pada awal tahun lalu. Meski demikian, PPATK belum membahas RUU tersebut secara intensif dengan DPR lantaran situasi politik yang kurang stabil.
"RUU ini seharusnya bisa menjadi UU sebagai metode preventif dan mengurangi tindak pidana pencucian uang dan penyuapan yang akhirnya berujung pada operasi tangkap tangan (OTT) KPK," jelasnya.
Ia menjelaskan, pengesahan RUU ini menjadi UU semakin diperlukan. Hal tersebut terlihat dari maraknya peredaran mata uang dolar Singapura, ringgit Malaysia dan dolar Amerika Serikat yang keluar masuk Indonesia.
Selain itu, modus pencucian uang yang dilakukan para oknum juga berkembang menjadi semakin rumit dan sulit ditebak.
"Aktivitas pencucian uang membuat pergerakan modal, manusia, barang dan jasa makin tidak jelas melampaui batas-batas negara," ujar Kiagus.
Kiagus menuturkan, pihaknya telah melakukan pembahasan secara intensif terkait RUU ini dengan sejumlah pihak, termasuk dengan Bank Indonesia dan KPK. Bila nanti disahkan menjadi UU, Kiagus menyatakan kesanggupannya untuk terus melanjutkan koordinasi guna melakukan penyesuaian jika ada kesulitan.
"Kami menargetkan UU ini bisa lolos paling cepat tahun 2020 mendatang," katanya.
Dalam RUU tersebut, transaksi uang kartal akan dibatasi maksimal Rp100 juta. Pihaknya juga akan mencantumkan sejumlah pengecualian bagi beberapa pihak seperti pelaku usaha ritel dan daerah-daerah yang belum dapat menunjang transaksi nontunai.
"Kami akan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait pihak-pihak yang dikecualikan," ujar Kiagus.