Bisnis.com, JAKARTA - Niat pemerintah untuk mendorong Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Investasi Pemerintah (PIP) mencari pendanaan di luar APBN dipandang terlalu riskan.
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet berpandangan dengan kondisi likuiditas yang masih cenderung ketat, agak riskan untuk berharap kepada PIP untuk mencari pendanaan di luar APBN.
Seperti diketahui, penyertaan modal pemerintah (PMN) kepada PIP untuk tahun 2020 direncanakan lebih rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
PMN untuk tahun 2020 direncanakan sebesar Rp1 triliun dan PIP diminta untuk mencari pendanaan lain seperti kepada pemerintah daerah (pemda), pasar modal, dan perbankan.
Terkait dengan sumber pendanaan melalui pasar modal, Yusuf menilai bahwa opsi PIP masih terbatas pada initial public offering (IPO) atau rights issue. "Karakteristik ini pun belum cocok untuk usaha mikro," ujar Yusu kepada Bisnis.com, Rabu (21/8/2019).
Adapun untuk pendanaan melalui perbankan, menurut Yusuf, suku bunga kredit dari perbankan terutama dari BUKU IV dipandang masih terlalu tinggi.
"Kalau postur APBN 2020 masih memiliki ruang untuk ekspansi dengan mendorong defisit, langkah pemerintah untuk mengurangi PMN kepada PIP menjadi pertanyaan," ujarnya.
Lebih lanjut, dirinya hingga saat ini juga masih mempertanyakan dampak positif dari fasilitas pembiayaan ultra mikro (UMi) yang dikelola oleh PIP dan disalurkan melalui 3 lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yakni PT Pegadaian (Persero), PT Bahana Artha Ventura, dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM) (Persero).
Hingga saat ini, dirinya menilai masih belum ada rujukan yang jelas mengenai kinerja dan dampak dari UMi.
Namun, Yusuf menilai UMi tetaplah merupakan alternatif yang lebih fleksibel dibandingkan dengan KUR yang masihmewajibkan jaminan bagi debitur.