Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo belum lama ini mengemukakan tujuannya untuk memindahkan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke salah satu provinsi di Pulau Kalimantan. Rencananya, IKN baru tersebut akan dikembangkan dengan konsep forest city, kira-kira bagaimana ya penerapannya?
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyebutkan bahwa IKN di Kalimantan, selaku paru-paru dunia, akan dibangun dengan konsep forest city. Dengan menerapkan konsep tersebut, kota akan memiliki 50% ruang terbuka hijau (RTH) dari total luas area.
“Jadi RTH itu nanti bisa berupa taman rekreasi, ruang hijau, kebun binatang, kebun tanaman, tempat olahraga, yang terintegrasi dengan bentang alam seperti kawasan berbukit dan daerah aliran sungai [DAS], dan struktur topografi lainnya,” katanya dalam acara Youth Talks: “Yuk Pindah Ibu Kota!” di Jakarta, Selasa (20/8).
Selain itu, dalam konsep forest city, kota yang dijadikan IKN nantinya akan memiliki sistem untuk mengolah energi terbarukan dan rendah karbon sehingga penggunaan energi bisa lebih efisien sekaligus mengurangi emisi karbon.
Untuk efisiensi konsumsi energi tersebut, kata Bambang diperlukan pembangunan Green Building Design melalui penerapan circular water management system, efficient lighting system, dan district cooling system.
“Jadi Kalimantan ini kan berada di garis katulistiwa, suhu udaranya rata-rata 20-30 derajat celcius, penerapan energi terbarukan seperti ini sangat diperlukan ketika mengembangkan Kalimantan menjadi IKN baru,” ungkapnya.
Kemudian, nantinya IKN juga akan dibangun dengan orientasi pada transportasi berbasis rel dan transportasi tanpa mesin seperti sepeda dan mengutamakan agar penduduknya terbiasa untuk kemana-mana dengan berjalan kaki.
Dengan konsep tersebut, Pengembang PT Ciputra Residence mengatakan siap untuk memenuhi keperluan pengembangan berkonsep hijau di IKN baru jika nanti dipindahkan ke Kalimantan.
Marketing Director PT Ciputra Residence Yance Onggo mengatakan bahwa konsep bangunan hijau sudah menjadi ciri khas dari pembangunannya. Hal yang menjadi poin utama adalah bagaimana produk-produknya bisa dibangun secara berkelanjutan.
“Untuk penerapannya, kami sudah mendapatkan, di seluruh proyek kami, sertifikasi EDGE dari World Bank dalam hal penghematan penggunaan air, energi, dan menggunakan material bagunan yang tidak merusak lingkungan,” jelasnya.
Kemudian dari sisi pengembangan masterplan, Ciputra juga sangat mempertimbangkan sekali luasan area-araea hijau. Kemudian, penerapan bangunan hijau juga diterapkan di rumah-rumah dengan menyediakan bukaan-bukaan cahaya supaya tidak ada sudut ruangan yang gelap, sehingga menghemat penggunaan energi di siang hari.
“Di beberapa proyek, kami juga mendorong penduduk untuk bergaya hidup sehat, dari sisi masterplan juga ada pedestrian [trotoar], dari rumah ke area komersial, jadi kemanapun tidak usah keluar kendaraan. Semua ini kami rangkum jadi konsep ecoculture, di mana pengembangan hijau tidak hanya jadi gaya hidup tapi juga jadi budaya,” sambungnya.
Di Samarinda, Kalimantan Timur, PT Ciputra Residence memiliki 3 proyek dengan total luas sektar 500 hektare, yaitu CitraGrand Senyiur City seluas 300 hektare, CitraLand City Samarinda seluas 100 hektare, dan CitraGarden City seluas 100 hektare.
CitraGrand Senyiur City masih dibangun untuk kalangan menengah dengan harga hunian di kisaran Rp500 juta – Rp1,5 miliar. Kemudian, CitraGarden City dibanderol dengan kisaran harga Rp450 juta – Rp1 miliar. Sedangkan, CitraLand dibanderol dengan harga lebih premium, Rp1 miliar – Rp8 miliar.
Mulai masuk mengembangkan Kalimantan Timur sejak 2007, isu pemindahan IKN dinilai menjadi angin segar oleh Ciputra Residence dan juga pengembang lainnya.
“Karena kalau ada IKN baru itu kan pasti infrastrukturnya pemerintah akan bangun besar-besaran, dan fasilitas penunjang terutama. Nah biasanya kalau pemerintah membangun infrastruktur dan fasilitas di satu kawasan biasanya pertumbuhan ekonominya maju duluan dari sektor properti,” ungkapnya Yance.