Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha menilai perbaikan sistem perizinan impor bawang putih lebih dibutuhkan untuk menanggulangi adanya pemburu rente dalam proses importasi sektor tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi mengatakan, kebijakan pengajuan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) melalui Kementerian Pertanian yang lalu ditindaklanjuti dengan penerbitan surat persetujuan impor (SPI) menjadi hambatan tersendiri bagi para importir.
Di sisi lain, dia khawatir dengan adanya dua jalur yang harus ditempuh importir di dua kementerian dalam mengajukan izin impor, justru memunculkan peluang penyalahgunaan wewenang dalam proses importasi.
“Saya masih mendapatkan keluhan dari beberapa importir, yang menyebutkan mereka sudah dapat RIPH sejak tahun lalu, namun hingga kini tidak kunjung mendapatkan SPI dari Kemendag. Hambatan-hambatan seperti ini sebenarnya yang memunculkan peluang suap dan korupsi,” katanya kepada Bisnis.com, Senin (12/8/2019).
Dia mengatakan, sejumlah importir yang telah melakukan wajib tanam 5% dari kuota izin impor yang diajukan dan telah mendapatkan RIPH, namun belum memperoleh SPI dalam waktu dekat akan melakukan gugatan kepada Kemendag.
Adapun, berdasarkan catatan Bisnis, pada Juni lalu, Kemendag telah menerbitkan izin impor 125.000 ton bawang putih kepada 11 importir yang telah mendapatkan RIPH dari Kementerian Pertanian.
Kendati demikian, dia sepakat dengan adanya rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai perbaikan tata niaga bawang putih yang diimpor. Pasalnya, selama ini dia melihat terdapat gap yang besar antara harga bawang putih yang diimpor dengan harga jual ketika sudah di pasaran.
Hal itu menurutnya, menimbulkan kecurigaan bagi publik. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, harga bawang putih yang diimpor dari China, harganya berkisar Rp10.000/kg sementara ketika dijual di pasar konsumen harga rata-ratanya mencapai Rp35.000/kg.
“Namun, saya usul KPK jangan terlalu jauh mengurusi tata niaga bawang putih. Tugas ini seharusnya ada di Satuan Tugas (satgas) Pangan dan pemerintah. Maka dari itu, pemerintah harus mengevaluasi, kenapa ada suap-menyuap seperti ini, terutama kenapa importir yang patuh aturan masih sulit mengimpor,” jelasnya.
Adapun, juru bicara KPK Febri Diansyah mengakui adanya rekomendasi dari KPK kepada pemerintah agar proses importasi bawang putih terhindar dari praktik korupsi dan suap. Dalam hal ini KPK mengusulkan agar Kemendag menyusun acuan untuk menentikan kelayakan harga bawang putih yang diimpor di tingkat konsumen.
Selain itu, KPK juga mengusulkan adanya revisi Peraturan Menteri Perdagangan No.20/2017 tentang Pendaftaran Pelaku Usaha Distribusi Bahan Kebutuhan Pokok. Pasalnya, dalam aturan tersebut bawang putih tidak termasuk komoditas yang distributornya diwajibkan melakukan post audit atas laporan distribusi dan stok yang dimiliki.
“Langkah itu diperlukan untuk meningkatkan pengawasan atas tata niaga bawang putih impor,” ujarnya.
Ketua Komite Tetap Agribisnis Kadin Andi B.Sirang mendukung usulan dari KPK tersebut. Pasalnya, bawang putih saat ini masih menjadi komoditas pangan yang importasinya diberikan kuota, namun proses distribusinya tidak diatur dalam peraturan pemerintah.
“Saya sepakat, importir dan distributor wajib melakukan post audit atas bisnisnya. Sebab, komoditas pangan impor lain yang diberlakukan kuota seperti gula rafinasi, sudah diwajibkan untuk melakukan hal tersebut,” katanya.
Kebijakan itu diperlukan untuk memperkuat data dan laporan kebutuhan riil konsumsi bawang putih domestik dan kuota yang seharusnya diberikan oleh pemerintah.
Adapun, ketika dimintai tanggapan mengenai usulan KPK tersebut, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Wisnu Wardhana, tidak memberikan respons.