Bisnis.com, JAKARTA – Goldman Sachs Group Inc. semakin khawatir bahwa resesi di Amerika Serikat karena perang perdagangan dengan China akan semakin intensif dan meningkatkan risiko pada pertumbuhan ekonomi.
Bank investasi asal AS ini mengatakan tidak lagi mengharapkan adanya kesepakatan perdagangan sebelum pemilihan presiden 2020 karena ancaman tarif baru mulai berlaku.
Goldman Sachs juga menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal keempat sebesar 0,2 poin persentase menjadi 1,8 persen dan memperkirakan bahwa perusahaan dapat menurunkan pengeluaran dan investasi di tengah ketidakpastian.
"Kekhawatiran bahwa perang perdagangan akan memicu resesi sedang tumbuh," kata Goldman Sachs dalam catatan penelitian pada Minggu (11/8/2019), seperti dikutip Bloomberg.
Goldman juga menambahkan bahwa mereka telah meningkatkan perkiraan mengenai dampak perang perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Setelah Presiden Donald Trump mengeluarkan ancaman kejutan untuk menerapkan tarif baru pada barang impor asal China yang nilainya mencapai US$300 miliar dua minggu lalu, Beijing merespons pada 5 Agustus dengan menghentikan pembelian produk pertanian AS dan membiarkan yuan jatuh ke level terlemah sejak 2008.
Pemerintahan Trump kembali bereaksi dalam beberapa jam setelahnya dengan secara resmi melabeli China sebagai manipulator mata uang.
Lawrence Summers, mantan menteri keuangan AS dan penasihat ekonomi Gedung Putih, mengatakan pekan lalu bahwa meningkatnya ketegangan perdagangan mendorong perekonomian dunia menuju resesi pertama dalam satu dekade.
Ia juga mengatakan investor menuntut politisi dan para pejabat bank sentral bertindak cepat untuk mengubah arah.
“Di AS saja, risiko resesi jauh lebih tinggi dari yang seharusnya dan jauh lebih tinggi daripada dua bulan lalu," katanya kepada Bloomberg Television.
Pada hari Minggu (11/8) dalam program televisi Fareed Zakaria GPS di CNN, Summers juga menyebut konflik perdagangan antara China dan AS di bawah Presiden Donald Trump sebagai hal yang sadis dan bodoh.
"Kita telah banyak dirugikan, mulai dari meningkatnya ketidakpastian, berukurangnya investasi, dan pengurangan penciptaan lapangan kerja, demi hal yang sangat mungkin tidak ada manfaatnya," kata Summers, seperti dikutip Reuters.