Bisnis.com, JAKARTA -- Bank Indonesia memperkirakan defisit transaksi berjalan sepanjang 2019 bakal mencapai 2,8 persen dari PDB atau sedikit di bawah capaian 2018 yang sebesar 2,98 persen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, sampai akhir tahun 2019, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akan berada pada rentang 2,5% sampai 3% dari PDB.
Secara spesifik, dia membidik CAD berada pada level 2,8%. Dia beralasan masih optimistis surplus neraca modal bisa membiayai defisir transaksi berjalan.
Hingga kuartal II/2019, CAD tercatat meningkat dari US$7,0 miliar atau 2,6% dari PDB pada kuartal sebelumnya menjadi US$8,4 miliar atau 3,0% dari PDB.
Perry menyatakan bahwa memang dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II/2019 tercatat defisit di mana defisit neraca transaksi berjalan meningkat dari US$7,0 miliar atau 2,6% dari PDB pada kuartal sebelumnya menjadi US$8,4 miliar atau 3,0% dari PDB.
Dia mengklaim kondisi tersebut sebenarnya sudah sesuai dengan ekspektasi BI. "Itu memang kami perkirakan US$8,4 miliar. Kemudian juga ini terkait dengan rasio PDB, naik 3% bukan karena defisit," terang Perry di Kompleks Bank Indonesia, Jumat (9/8/2019).
Menurut Perry, PDB kuartal II memang lebih rendah dari yang diperkirakan yakni 5,05% (y-o-y). Apalagi imbas dari penurunan surplus neraca perdagangan barang dan peningkatan defisit neraca jasa.
Pasalnya, neraca perdagangan barang kuartal II/2019 surplus US$0,2 miliar lebih rendah dari surplus kuartal I/2019 sebesar US$1,2 miliar. Sementara itu, neraca perdagangan jasa mengalami defisit US$2 miliar pada kuartal II/2019, yang mana lebih tinggi dari kuartal sebelumnya defisit US$1,9 miliar.
Selain itu, faktor musiman berupa kebutuhan repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri juga meningkatkan defisit pendapatan primer.
"Inilah karena per PDB yang semula 2,9% sekarang jadi 3%," terangnya.