Bisnis.com, JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 tidak akan mencapai outlook APBN 2019 yakni 5,2% dan bahkan bakal di bawah 5,1%.
Hal ini karena tensi perang dagang yang kembali memanas di mana AS bakal menerapkan tarif sebesar 10% atas produk China yang mencapai US$300 miliar dan disusul dengan pelemahan yuan terhadap dolar AS.
"Bisa 5,1% sudah bagus dan bahkan prediksi kami 5,0% saja," ujar Wakil Direktur Indef Eko Listyanto, Selasa (6/8/2019).
Eko mengatakan bahwa dampak dari perang dagang yang kembali memanas ini tidak akan langsung berdampak kepada Indonesia, tetapi apabila berlanjut maka bagaimanapun dampaknya akan sampai ke Indonesia.
Produk China yang sedari awal sudah kompetitif akan semakin kompetitif dengan melemahnya Yuan sehingga ke depannya bukan tidak mungkin apabila barang China secara lebih masif bakal masuk ke Indonesia.
"Sebelum itu terjadi ya harus diwaspadai dengan non-tariff barrier dan pengawasan produk, karena tidak semua produk China masuk secara legal," kata Eko.
Imbas dari dinamika perang dagang ini adalah kembali melemahnya rupiah yang disebabkan oleh langkah investor global yang lebih memilih untuk menginvestasikan modal di negara maju ketimbang negara berkembang.
Keadaan melemahnya rupiah pun menurut Eko tidak serta merta bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk meningkatkan laju ekspor maupun investasi.
Hal ini karena ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas mentah seperti batu bara dan CPO sehingga depresiasi rupiah tidak akan memiliki dampak.
"Kalau stimulasi dengan nilai mata uang ya percuma karena demand memang rendah. Kalau kita juga menyengaja mendepresiasi rupiah itu tidak akan efektif," tambah Eko.
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi kuartal II/2019 sebesar hanya 5,05% (y-o-y) dan masih bersumber dari pertumbuhan bisnis swasta dan konsumsi pemerintah.