Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pengusaha menilai regulasi pengupahan tenaga kerja yang sudah tidak relevan menyebabkan angka pengangguran di sejumlah daerah Indonesia sulit ditekan.
Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bob Azzam menuturkan tinggi besaran upah di sejumlah daerah di Indonesia juga berdampak pada angka pengangguran yang tinggi. Oleh karena itu, pemerintah terutama pemerintah daerah harus melindungi kepentingan pencari kerja.
Di Indonesia, provinsi yang memiliki upah minimum tinggi di Indonesia a.l. Aceh (Rp2,93 juta), Bangka Belitung (Rp2,9 juta), DKI Jakarta (Rp3,9 juta), Kepulauan Riau (Rp2,7 juta), Riau (Rp2,6 juta), Sumatra Selatan (Rp2,8 juta), Kalimantan Timur (Rp2,7 juta), Kalimantan Utara (Rp2,7 6 juta), Sulawesi Utara (Rp3 juta), Sulawesi Selatan (Rp2,86 juta), Papua (Rp3,1 juta), dan Papua Barat (Rp2,8 juta).
Adapun, upah minimum di Jawa Barat hanya Rp1,6 juta, tetapi di provinsi tersebut terdapat sejumlah daerah yang memiliki upah minimum tinggi, seperti di Kabupaten Bekasi (Rp4,1 juta), Kota Bandung (Rp3,3 juta), Kabupaten Bogor (Rp3,7 juta), Kebupaten Bandung (Rp2,8 juta), Kabupaten Bandung Barat (Rp2,89 juta), Kabupaten Sumedang (Rp2,89 juta), Kota Cimahi (Rp2,89 juta), Kota Depok (Rp3,8 juta), Kota Bogor (Rp3,8 juta), Kabupaten Sukabumi (Rp2,79 juta), Kota Bekasi (Rp4,2 juta), Kabupaten Karawang (Rp4,2 juta), Kabupaten Purwakarta (Rp3,70 juta), dan Kabupaten Subang (Rp2,7 juta).
"Terlalu tinggi upahnya, tidak realistis juga buat apa? Malah tidak efektif untuk melindungi buruh. Perlindungan buruh yg paling baik adalah membuat lapangan kerja sebanyak-banyaknya," ujarnya kepada Bisnis.com, akhir pekan lalu.
Angka penggangguran di Provinsi Jawa Barat Barat menduduki posisi tertinggi dari provinsi lain di Indonesia yakni sebesar 7,7% pada Februari 2019, lalu diikuti Provinsi Banten sebesar 7,5%.
Sementara itu, angka pengangguran di Aceh di Februari tahun ini mencapai 5,53%, Bangka Belitung sebesar 3,39%, DKI Jakarta 5,13%, Kepulauan Riau sebesar 6,41%, Riau sebesar 5,57%, Sumatra Selatan sebesar 3,39%, Kalimantan Timur sebesar 6,66%, Kalimantan Utara sebesar 5,8%, Sulawesi Utara sebesar 5,37%, Sulawesi Selatan sebesar 5,42%, Papua sebesar 5,28%, dan Papua Barat sebesar 5,01%.
Bob menuturkan selama ini banyak pemerintah daerah yang lebih memilih besaran upah yang tinggi dan mengorbankan para pencari kerja. "Saya heran kalau ada kepala daerah yang bangga paling tinggi upah minimumnya padahal tingkat penganggurannya di daerah nya tinggi," katanya.
Hal itulah yang menjadi menyebabkan indistri padat karya Indonesia tertinggal dengan negara lain seperti Vietnam.
Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Apindo Harijanto juga tak memungkiri tingginya upah di suatu daerah juga berdampak pada penggangguran yang tinggi.
"Pemerintah harus mengkaji kebijakan upah, jangan sampai malah merugikan tenaga kerja di Indonesia. Upah yang tinggi juga tak sebanding dengan produktivitas," tuturnya.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat berpendapat tingginya upah di suatu daerah yang juga diikuti dengan tingginya angka penggangguran merupakan bom waktu dari demo besar-besaran tenaga kerja pada 2013.
"Kenaikan upah minimum kabupaten/kota beberapa kabupaten dan kota di Jabar dan Banten ada yang naik hingga 70% karena setiap tahun naik maka gap-nya menganga makin lebar ditambah isu pengupahan jadi isu seksi untuk janji janji para calon kepala daerah untuk naik secara fantastis," ucapnya.
Saat ini industri padat karya terutama tekstil banyak berada di Jabat dan Jateng. Pihaknya tak memungkiri, beban upah memiliki komposisi sebesar 10% hingga 15% untuk industri hilir seperti garmen.
Menurutnya, pemerintah perlu moratorium kenaikan bagi daerah yang sudah terlalu tinggi. Hal itu agar daerah tertinggal bisa menyesuaikan agar tak tertinggal.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan memang di daerah yang jadi basis industri seperti Karawang dan Batam upahnya relatif tinggi karena sebagian besar di sektor formal. Sektor industri saat ini mengalami deindustrialisasi prematur sehingga serapan kerjanya tidak optimal.
"Ini kemudian mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka," ujarnya.
Faktor lain karena gap missmatch antara lulusan skolah vokasi, perguruan tinggi dengan kebutuhan industri makin lebar. "Akhirnya yang diuntungkan dengan upah minimum tinggi adalah para pendatang bkan penduduk yang domisili di kawasan industri," kata Bhima.