Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Permintaan Lesu, Produsen Benang Pangkas Produksi

Para pelaku industri tekstil, terutama produsen benang dan serat, mengurangi produksi sejak awal tahun karena permintaan lesu.
Karyawan mengambil gulungan benang di salah satu pabrik tekstil yang ada di Jawa Barat./JIBI-Rahmatullah
Karyawan mengambil gulungan benang di salah satu pabrik tekstil yang ada di Jawa Barat./JIBI-Rahmatullah

Bisnis.com, JAKARTA – Para pelaku industri tekstil, terutama produsen benang dan serat, mengurangi produksi sejak awal tahun karena permintaan lesu.

Hal ini merupakan imbas dari banjir produk impor yang semakin melonjak sejak tahun lalu.

Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), mengatakan pabrikan mengurangi kapasitas produksi sebesar 15%-20% karena permintaan di sektor hilir berkurang. Kebutuhan di sektor pengguna lebih banyak diisi oleh produk impor.

Hal tersebut terlihat dari peningkatan konsumsi pakaian jadi, tetapi serapan produk benang dan serat dalam negeri tidak mengalami pertumbuhan.

"Hingga semester I/2019, anggota kami tidak ada yang stop produksi, tetapi mengurangi 15%--20% produksi," ujarnya dalam Evaluasi Kinerja Industri Serat dan Benang Filamen Semester I/2019 di Jakarta, Rabu (10/7/2019).

Sektor pembuatan kain, yang merupakan industri pengguna benang dan serat, terpuruk karena banjir impor. Redma mengatakan saat ini tingkat utilitas produksi di sektor pertenunan, perajutan, dan pencelupan kain hanya berada di level 40%.

"Konsumsi pakaian Indonesia tinggi, tetapi larinya enggak ke kami," katanya.

Cecep Setiono, Wakil Ketua APSyFI, menuturkan perusahaannya merupakan produsen purified terephtalic acid (PTA) yang memproduksi bahan baku untuk serat. Pabrik PTA ini harus berproduksi non stop 24 jam karena jika berhenti, maka biayanya sangat besar.

Oleh karena itu, di tengah permintaan domestik yang lesu, pabrikan bimbang karena mesin harus terus berproduksi. "Kalau kami menurunkan kapasitas produksi, kualitasnya bisa turun. Kalau berhenti sama sekali, biayanya mahal," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper