Bisnis.com, JAKARTA - Teknologi gasifikasi batu bara untuk menghasilkan bahan baku plastik telah dikaji dua kali sejak 2009. Potensi penerapan teknologi ini dinilai besar mengingat ketersediaan batu bara rendah kalori dan mengandung methane tinggi. Namun, Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia masih mengkaji nilai tambah dari nilai investasi.
Deputi Executive Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyampaikan para anggota asosiasi masih mengkaji nilai tambah dari nilai investasi dalam pembangunan teknologi gasifikasi atau proses hilirisasi batu bara tersebut. Menurutnya, penerapan teknologi tersebut akan baik untuk meningkatkan nilai tambah batu bara berkalori rendah.
"Kata kuncinya di keekonomian. Kalau harga batu bara tinggi, buat apa [diubah]. Dan [menjual gas] itu tidak mudah, [investasi ini akan bergantung pada] bagaimana perkembangan harga gas," tuturnya kepada Bisnis, Rabu (8/5/2019).
Berdasarkan ICE NewCastle Coal, harga batu bara acuan per Maret mencapai US$84,90 per ton. Adapun, APBI mencatat harga batu bara berkalori rendah atau 4.200 kcal/kg dibanderol di level US$40 per ton.
Hendra mengutarakan batu bara berkalori rendah mendominasi cadangan batu bara di Tanah Air. Menurutnya, cadangan batu bara nasional mencapai sekitar 37 miliar ton dan lebih dari setengahnya merupakan batu bara berkalori rendah.
Hendra menyarankan agar pemerintah dapat membangun kawasan industri hilirisasi batu bara untuk menghemat biaya produksi. Dengan demikian, para industri yang menikmati produk hilirisasi batu bara dapat langsung mengolah syngas menjadi fokus usahanya masing-masing seperti pupuk, bahan bakar, maupun petrokimia.