Bisnis.com, JAKARTA – Pertumbuhan properti sektor ritel diperkirakan bisa kembali bertumbuh pesat usai pemilu, terutama karena selesainya periode tersebut disusul oleh musim puasa, lebaran, dan liburan sekolah.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan mengatkan, sebelum pemilu saja peredaran uang sudah sangat besar dan banyak. Hal ini seharusnya memberikan dampak positif bagi sektor ritel.
“Di bidang garmen dan percetakan misalnya, jadi banyak pesanan untuk kampanye dari baliho, kaos, terus sektor makanan dan minuman juga dapat keuntungan, ada pesanan buat rapat dan sebagainya, kan harusnya pemilu ini lebih menguntungkan,” jelasnya kepada Bisnis, Senin (1/4).
Selanjutnya, periode pemilihan umum dilanjutkan dengan bulan puasa, lebaran, dan liburan sekolah. Pada periode ini orang akan banyak belanja sehingga pertumbuhan pasar ritel bisa makin melejit pada kuartal II/2019.
“Saya sih optimistis 2019 ini bisa bertumbuh lebih pesat dibandingkan dengan 2018. Kekhawatiran akan pemilu harusnya sudah lewat,” katanya.
Untuk usaha yang paling prospektif, kata Stefanus, selain usaha makanan dan minuman juga mulai jadi tren merk-merk kosmetik. Tren hijab membuat keinginan mempercantik diri dengan menata rambut menurun dan bergeser untuk mempercantik diri lewat berdandan.
Kemudian dari pakaian, orang Indonesia sudah mulai sadar untuk menggunakan produk-produk lokal. Jadi, jika ada brand yang muncul dari lokal dengan desain atau model yang unik pasti akan lebih dilirik daripada merk-merk high-end.
Selanjutnya, menyiasati agar tidak tergerus kemunculan dagang elektronik (dagang-el) menurut Stefanus angkanya pembelian dari dagang-el hanya sedikit dan lebih kuat untuk penjualan elektronik.
“Di e-commerce, untuk fesyen biasanya nggak ada merknya, jadi desain saja itu banyak diperlihatkan di media sosial. Selama dia itu punya desain menarik, unik, ada tokonya, orang bakal lebih seneng di toko sih, karna bisa dilihat, bisa dipegang, bias dipas ke badan. Jadi menurut saya yang penting mal itu dibuat menarik supaya orang mau datang kesitu lagi,” sambungnya.
Untuk toko-toko fisik, Stefanus juga mengimbau agar usaha-usaha menggunakan sistem omni-channel atau menggunakan banyak saluran untuk memasarkan produknya, terutama dengan menggunakan media sosial.
“Orang bisa lihat-lihat produk dan cari informasi tentang toko itu 24 jam, baru nanti belinya kalai pas jam buka toko, lewat omni-channel itu,” imbuh Stefanus.
Stefanus melanjutkan, lantaran kalangan milenial menjadi konsumen paling banyak, kalangan itu harus dibuat tertarik dengan tidak menutup kemungkinan menjaring minat konsumen dari generasi sebelumnya.
“Kalau mau terus bertumbuh, harus menyasar kebutuhan anak muda, strategi dari mal saya secara internal sekarang sudah banyak melibatkan anak-anak muda untuk jadi general manager, jadi mereka bisa menuangkan keinginan-keinginannya dalam konsep-konsep di mal yang kita kembangkan,” ungkapnya.
Kemudian, untuk pangsa tenancy mix-nya, menurut Stefanus makanan dan minuman cukup 35% di mal yang besar dan di mal yang kecil pangsanya bisa 50% atau seluruhnya makanan masih memungkinkan akan laku. Sedangkan untuk fashion bisa 20-30% dari keseluruhan tenant yang ada.
Selain itu, untuk menambah pengalaman pengunjung, disediakan juga tempat-tempat yang ada karya seninya, sehingga orang ke mal tidak hanya mau belanja tapi juga untuk rekreasi, foto-foto, kumpul-kumpul.
Adapun, sekarang usaha pusat perbelanjaan itu niatnya sudah tidak bisa hanya untuk cari untung, tapi juga lebih ke membantu orang membuka usaha. Strategi lainnya untuk makin menarik pengunjung lebih banyak lagi bisa dengan melakukan perombakan atau pembaharuan tenant.
“Misalnya restoran udah ngga jadi tren, makanannya udah itu-itu saja, kita samperin, kita cari tau tenant ini bakal bikin inovasi apa lagi, ada yang perlu kita bantu ngga, apa mau tutup aja, biar kita bisa cari tenant lain yang lebih baru,” katanya.
Kemudian, untuk brand fesyen sendiri, pengunjung saat ini juga lebih memilih yang unik, misalnya brand sepatu yang unik, desainnya langka harganya Rp16 jutaan pun akan tetap ada yang beli. Selain itu, pakaian semisal sudah modelnya sudah tidak menarik, brand bisa melakukan kolaborasi dengan brand lain.
“Misalnya Uniqlo dengan Snoopy, agar selain menyasar pembeli secara umum tapi juga penggemar si kartun itu sendiri.”