Bisnis.com, JAKARTA - Akademisi kehutanan menilai bahwa insentif berupa pengadaan industri kecil di dalam hutan dari pemungutan hasil hutan bukan kayu [HHBK] dan sisa tebangan kayu akan membangkitkan semangat para pelaku industri kehutanan untuk menjalankan teknik silvikultur intensif (Silin).
Agus Setyarso, Dosen Universitas Gadjah Mada mengatakan hal tersebut karena dalam satu tebangan pohon biasanya sekitar 60% dapat diolah menjadi kayu bulat kemudian sisanya sekitar 40% biasanya tidak dimanfaatkan.
“Ada kayu-kayu yang sisa tebangan, dari cabang-cabangnya itu bisa masuk ke industri furniture misalnya, industri kecil atau kerajinan,” tuturnya kepada Bisnis, Selasa (11/3/2019).
Dia mengatakan, dalam menjalankan industri kecil tersebut para pelaku usaha diwajibkan untuk menarik masyarakat lokal sebagai pekerjanya.
“Dengan demikian, dampak dari [insentif] Silin ini pada sisi ekonominya adalah membangun ekonomi lokal, karena itu ada industri [kecil] di dalam hutan, dipasarkan di pasar domestik, dan karena ada pergerakan ekonomi di sana, [maka kelestarian] hutan akan berkembang,” lanjutnya.
Selain itu, Agus juga menyarankan adanya dua insentif lainnya. Pertama, insentif berupa pengurangan dana reboisasi. “Karena ketika [si pelaku usaha] itu menanam, kan itu sudah melakukan reboisasi, jadi kewajiban mereka untuk membayar dana reboisasi itu dikurangi [oleh pemerintah],” jelasnya.
Skema insentif pengurangan dana reboisasi tersebut dikatakannya dapat dilakukan saat para pelaku industri akan memanen hasil kayu dari teknik Silin.
“Jadi reboisasinya dilakukan saat ini dengan menggunakan dana mereka [para pelaku industri kehutanan], kemudian nanti ketika mereka mau panen mereka baru membayar dana reboisasi-nya,” kata Agus.
Kemudian, insentif yang ketiga adalah pohon yang ditanam menggunakan teknik Silin dapat dijadikan jaminan untuk diagunkan kepada Bank agar pihak korporasi yang menjalankan mendapatkan pendanaan. “Jadi, pihak swasta lebih mudah untuk memperoleh pendanaan,” lanjutnya.
Agus menilai dengan adanya tiga skema tersebut akan menarik kembali mengerek investasi di industri kehutanan Indonesia terutama di hutan alam. “Jadi, akan banyak lagi pengusaha [kehutanan] yang mau menanam di hutan alam,” kata Agus.
Agus menjelaskan silvikultur intensif (Silin) merupakan sebuah teknik yang dapat mengerek produktivitas hutan. Di mana dalam penelitian yang telah dilakukan, dengan menggunakan metode ini produktifitas tanaman pohon hutan alam dapat tumbuh 3-4 kali lipat dari produktivitas yang sebenarnya.
Bibit pohon Silin yang akan ditanam pun sudah melalui proses pengecekan dan perawatan dan di laboratorium sehingga genetik si calon bibit pohon sudah dapat dipastikan keunggulannya. “Jenis bibit pohon Silin itu dapat diaplikasikan sesuai dengan ekosistem setempat, tidak harus Meranti,” jelasnya.
Dia memberikan contoh, Perhutani melakukan teknis Silin terhadap pohon kayu jati, di mana kayu jati dapat ditebang dengan usia 20 tahun.
“Kayu Jati sudah intensif di Jawa, kalau dulu kayu jati umur 80 tahun baru bisa ditebang, sekarang 20 tahun sudah di tebang. [Itu] Perhutani sudah nebang,” ujarnya.